Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bos BI Ungkap Arah Kebijakan Pendorong Pertumbuhan di 2026

Bos BI Ungkap Arah Kebijakan Pendorong Pertumbuhan di 2026 Kredit Foto: Bank Indonesia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bank Indonesia (BI) akan terus memperkuat kebijakan makroprudensial longgar pada tahun 2026 untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dengan tetap turut menjaga stabilitas sistem keuangan.

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengungkapkan, kebijakan makroprudensial longgar tahun depan memiliki pertimbangan yang mencerminkan siklus keuangan, kebutuhan pembiayaan pemerintah, serta stabilitas sistem keuangan yang solid.

Perry menjelaskan, siklus keuangan Indonesia tahun 2026 dan 2027 diperkirakan mencapai puncaknya pada 2029, sehingga dorongan terhadap penyaluran kredit perlu ditingkatkan untuk memperkuat permintaan konsumsi dan investasi yang masih lemah di tengah perlambatan ekspor global.

Baca Juga: Optimis! Bank Indonesia Paparkan Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Indonesia di 2026-2027

“Karenanya, kebijakan makroprudensial longgar diperlukan untuk dorongan bagi kapasitas perbankan dalam penawaran kredit/pembiayaan, khususnya pada sektor-sektor pencipta pertumbuhan dan lapangan kerja,” kata Perry dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2025.

Sementara itu, stabilitas sistem keuangan dinilai masih terjaga. Rasio kecukupan modal perbankan tinggi, likuiditas longgar, dan kredit bermasalah rendah. Namun, BI tetap mewaspadai potensi kerentanan dari dinamika global maupun domestik. Maka, penguatan koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sangat penting untuk menjaga stabilitas dalam mendorong pembiayaan.

“Karenanya, sinergi kebijakan makroprudensial Bank Indonesia dengan kebijakan fiskal dan industrial Pemerintah sangat penting untuk mengatasi kendala permintaan yang selama ini menyebabkan masih rendahnya kredit/pembiayaan perbankan,” tambahnya.

BI menargetkan kredit tumbuh 8-12% pada tahun 2026. Sejumlah faktor seperti lambatnya transmisi penurunan suku bunga perbankan dan lemahnya permintaan kredit dari sektor riil menjadi perhatian utama.

Selanjutnya, BI menetapkan tiga langkah kebijakan makroprudensial pada 2026. Pertama, Mulai Desember 2025, pemberian insentif Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) akan lebih berorientasi pada penyaluran kredit dan penurunan suku bunga, dengan total insentif meningkat menjadi 5,5% dari DPK. Insentif ini menargetkan sektor prioritas seperti pertanian, industri, hilirisasi, jasa, konstruksi, perumahan, UMKM, dan ekonomi inklusif.

Besaran insentif akan mempertimbangkan kinerja pertumbuhan kredit dibandingkan komitmen periode sebelumnya, sementara insentif jalur suku bunga (interest rate channel) diberikan berdasarkan kecepatan bank menyesuaikan suku bunga kredit baru terhadap suku bunga kebijakan BI.

“Jumlah insentif kami naikkan menjadi Rp 423 triliun mulai Desember ini,” kata Perry.

Kedua, mempercepat penurunan suku bunga perbankan melalui KLM interest rate channel. BI menyoroti dominasi praktik suku bunga deposito spesial yang diminta deposan besar, yang menghambat efisiensi industri.

Pada Oktober 2025, deposito dengan suku bunga spesial tercatat Rp2.656,79 triliun atau 27% dari total DPK, dengan suku bunga 5,21%. Sementara itu, deposan pemerintah memiliki simpanan sebesar Rp817,16 triliun dengan bunga sekitar 5,10%.

Fenomena tersebut menciptakan distorsi pasar karena daya tawar deposan besar, sehingga biaya dana bank tetap tinggi. Spread antara suku bunga deposito spesial dan batas suku bunga penjamin LPS bahkan meningkat menjadi 1,71% pada Oktober 2025.

“Artinya, bank-bank yang lambat penurunan suku bunganya akan diwajibkan memelihara GWM yang lebih tinggi di Bank Indonesia, sebaliknya insentif KLM diberikan kepada bank-bank yang lebih cepat penurunan suku bunganya. Bank Indonesia akan terus mengevaluasi efektivitas KLM forward looking interest channel,” tambah Perry.

Ketiga, memperkuat Surveilans sistemik Bank Indonesia untuk menjaga ketahanan perbankan dari risiko pasar, likuiditas, kredit, hingga ancaman operasional seperti serangan siber.

Surveilans sistemik Bank memfokuskan pada bank-bank besar yang dari sisi keterkaitan makroekonomi-sektor keuangan dinilai sangat berpengaruh dalam penyaluran kredit. Aspek yang dipantau mencakup kinerja kredit, ketahanan likuiditas, risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional, serta interkoneksi dalam pendanaan, pasar uang, dan sistem pembayaran.

“Koordinasi ini penting untuk memitigasi risiko pasar (nilai tukar dan suku bunga), risiko likuiditas, risiko kredit, dan risiko operasional agar stabilitas sistem keuangan tetap terpelihara. Koordinasi erat dalam KSSK juga perlu diperkuat untuk memelihara SSK tersebut sekaligus penguatan implementasi reformasi,” tambah Perry.

Selain itu, Perry mengatakan BI melakukan pendalaman Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing (PUVA). Melalui Blueprint Pendalaman Pasar Uang dan Pasar Valas (BPPU) 2030, BI mempercepat transformasi pasar keuangan domestik agar kian modern, efisien, dan berstandar internasional.

Sejak diluncurkan pada 2024, BPPU 2030 menjadi penerus Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025 dan secara konsisten mendorong pendalaman PUVA melalui empat aspek utama, product, pricing, participant, dan infrastruktur (3P+I).

Pasar Surat Berharga Negara (SBN) yang semakin berkembang turut mendukung pembiayaan fiskal pemerintah, sekaligus menyediakan sarana lindung nilai (hedging) yang lebih baik terhadap risiko suku bunga dan nilai tukar.

Pada aspek produk, BI menargetkan peningkatan volume transaksi repo hingga Rp30 triliun dan transaksi Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) mencapai 1 miliar dolar AS per hari pada 2030. Upaya ini didukung pengembangan instrumen seperti BI-FRN dan perluasan underlying repo berbasis obligasi dan sukuk korporasi. Pengembangan ini dilakukan untuk mendorong pasar derivatif seperti Overnight Index Swap (OIS) dan FX Swap.

Baca Juga: Bank Indonesia Proyeksi Ekonomi RI Tumbuh Kisaran 4,7–5,5% di 2025

Dari sisi pricing, BI mengarahkan pembentukan kurva suku bunga dan nilai tukar jangka pendek yang efisien melalui Money Market Curve dan FX Forward Curve. Hal ini diperkuat oleh interkoneksi transaksi antar Dealer Utama PUVA dan peserta pasar lain melalui infrastruktur seperti Electronic Trading Platform (ETP), CCP PUVA, BI-SSSS, BI-FAST, dan BI-RTGS.

Terdapat lima fokus utama Kebijakan PUVA Tahun 2026 pendalaman PUVA tetap diarahkan "pro-growth", dengan fokus pada lima program strategis. Pertama, pengembangan produk repo untuk meningkatkan likuiditas pasar sekunder instrumen BI, termasuk SRBI, SUKBI, SVBI, dan SUVBI, sekaligus memperkuat pasar OIS dan FX Swap. Kedua, penguatan mekanisme pasar dalam pembentukan struktur suku bunga (INDONIA, OIS, repo), nilai tukar (DNDF), serta instrumen hedging (IRS, FX Swap).

Selanjutnya, ketiga, Konsolidasi pelaku pasar, termasuk penguatan Dealer Utama PUVA dan peran strategis APUVINDO dalam implementasi operasi moneter dan pengembangan pasar. Keempat, Pengembangan infrastruktur pasar uang, operasi moneter, dan sistem pembayaran, termasuk integrasi dengan infrastruktur data SP PUVA yang menjadi fondasi penerbitan Digital Rupiah dan kelima, sinergi dan koordinasi pembiayaan ekonomi, yang melibatkan harmonisasi kebijakan operasi moneter, pendalaman PUVA, dan surveilans makroprudensial.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cita Auliana
Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: