Kemenperin Ungkap Indonesia Belum Miliki Carbon Budget, Dekarbonisasi Jalan Tanpa Kompas
Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
Dunia kini bergerak dengan kalkulator emisi yang tak mengenal kompromi. Dengan semakin menipisnya “jatah emisi global” yang menentukan apakah bumi masih berada di jalur 1,5°C, industri Indonesia menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ambisi Net Zero Emission (NZE) bukan lagi sekadar pernyataan politik, ia berubah menjadi pertarungan angka, timeline, dan kredibilitas nasional di mata investor internasional
Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin Apit Prianugraha mengungkapkan fakta paling fundamental : Indonesia belum memiliki Carbon Budget nasional, padahal angka itu menjadi dasar seluruh roadmap dekarbonisasi.
Tanpa perhitungan ini, Indonesia berisiko menyusun strategi penurunan emisi tanpa kompas, sementara dunia dan pasar global bergerak jauh lebih cepat.
Baca Juga: Hadir di Forum COP30, Pertamina Tegaskan Komitmen Kejar Target NZE 2060
“Kalau Bapak Ibu cari referensinya bahkan ke KLH, tidak ada tuh angka sekian Carbon Budget Indonesia. Ajaibnya seperti itu. Karena ternyata politis distribusi dari global ke per negara," ujarnya dalam Energy Outlook yang diselenggarakan Warta Ekonomi, Kamis, Jakarta (4/12/2025).
Ketiadaan angka Carbon Budget menjadi ironi karena industri adalah salah satu penentu emisi terbesar di Indonesia. Berdasarkan data Kemenperin, sektor industri menyumbang 46% konsumsi energi final nasional, dengan batu bara mendominasi 40% energi primer.
Sementara itu, emisi dari 9 subsektor manufaktur utama mencapai 154,3 juta ton CO₂e pada 2023, dan dalam skenario business-as-usual, bisa melonjak 107% menjadi 319 juta ton CO₂e pada 2050.
Di sisi lain, demand industri justru terus meningkat. Produksi baja diproyeksi naik 2,2 kali lipat, pupuk 2,3 kali lipat, otomotif (mobil) meningkat 2,2 kali lipat pada 2050. Tanpa Carbon Budget yang jelas, kenaikan produksi ini berpotensi melampaui “jatah emisi nasional” jauh lebih cepat dari yang diperkirakan.
Karena itu, Apit menekankan bahwa Carbon Budget bukan konsep yang bisa dipahami sebagai “target jauh di depan”. Carbon Budget adalah persoalan tahunan.
Baca Juga: Percepat Transformasi Industri Hijau, Kemenperin Perkuat Kemitraan dengan UNIDO
“Bukan berarti santai-santai yang penting 2050 jret langsung carbon capture. Bukan seperti itu. Ada anggaran emisi yang harus dipenuhi tiap tahun," jabarnya.
Kemenperin menunjukkan bahwa dengan menyusun roadmap yang tepat, penurunan emisi bisa mencapai 110 juta ton CO₂e pada 2035 dan 304 juta ton CO₂e pada 2050, namun keberhasilan itu sangat bergantung pada ketepatan baseline Carbon Budget nasional.
Tak hanya soal regulasi, Carbon Budget kini menjadi prasyarat utama pendanaan internasional. Menurut Apit, seluruh pendanaan hijau dari lembaga multilateral kini mensyaratkan roadmap negara yang 1,5°C aligned dengan komitmen Paris Agreement 2015.
Tanpa alignment tersebut, sektor industri harus membiayai transisinya sendiri sebuah beban besar bagi banyak subsektor yang intensif energi.
“Green loan itu semuanya kita kasih kalau 1,5 derajat align. Kalau enggak align berarti harus membiayai diri sendiri,” ungkapnya.
Baca Juga: Pengembangan Karbon Biru Bagian Transformasi Ekonomi Pesisir Menuju Keberlanjutan
Padahal kebutuhan pendanaan transisi sangat besar. Dalam data Kemenperin, 9 subsektor industri memerlukan:
- 183 GW Solar PV pada 2050,
- 15 juta ton scrap steel,
- 89 juta ton natural gas,
- 3,85 juta ton green hydrogen,
- serta peningkatan kebutuhan energi listrik rendah karbon hingga puluhan ribu GWh.
Hal ini menunjukkan skala transformasi yang masif dan tidak mungkin berjalan tanpa pendanaan global.
Tekanan semakin kuat karena kompetisi pasar global kini diwarnai kebijakan seperti CBAM Uni Eropa dan tuntutan Scope 3 dari OEM internasional. Tanpa Carbon Budget yang jelas, Indonesia bisa dianggap gagal memenuhi standar transisi hijau, sehingga berisiko menghadapi tarif karbon, penolakan pasar, atau hilangnya kontrak ekspor bernilai besar.
Menariknya, Kemenperin justru menetapkan target lebih agresif dibanding target nasional. Dalam paparannya, kementerian menegaskan bahwa sektor industri harus mencapai Net Zero Emission pada 2050, lebih cepat dari target nasional 2060. Hal ini mencerminkan kesadaran bahwa daya saing industri kini ditentukan oleh kecepatan dekarbonisasi.
Baca Juga: Ciptakan Industri Berkelanjutan, Ini Langkah Strategis Kemenperin
Apit juga mengungkapkan bahwa Kemenperin bersama WRI dan IESR sedang menyusun pemodelan Carbon Budget nasional yang diturunkan ke sektor industri.
Pemodelan ini akan menjadi dasar Peta Jalan Dekarbonisasi Industri 2024–2026, termasuk penetapan intensitas emisi, benchmark ETS, hingga kebutuhan teknologi seperti elektrifikasi, hidrogen hijau, efisiensi energi, dan CCUS.
“Kami sedang melakukan modeling untuk menurunkan dari global ke Indonesia dan dari Indonesia ke sektor industri Carbon Budget berapa," sambungnya.
Masalahnya, pembagian Carbon Budget antarnegara adalah proses politik di forum COP, bukan sekadar perhitungan teknis. Apit menegaskan pentingnya posisi Indonesia dalam negosiasi tersebut.
“Itulah tugasnya negosiator yang ikut COP sebenarnya,"jabarnya.
Baca Juga: Kemenperin Perkuat Ekosistem Industri Olahraga RI Lewat ISFEX 2025
Ketiadaan angka Carbon Budget membuat Indonesia seolah berlari tanpa mengetahui garis finisnya. Sementara dunia melalui lembaga pendanaan, pasar global, dan kebijakan karbon lintas negara sudah memakai kalkulator emisi yang sangat pasti.
Dengan emisi industri yang diproyeksikan naik drastis, kebutuhan energi dan material rendah karbon yang melonjak, serta pengetatan akses pendanaan hijau, waktu kian tidak berpihak pada Indonesia.
Jika Carbon Budget tak segera dipastikan, industri nasional berpotensi berada dalam posisi paling rentan: tersandera oleh skenario global tanpa rencana domestik yang solid. Di era di mana kredibilitas iklim menjadi mata uang baru, ketidakpastian angka ini bisa menjadi risiko terbesar bagi masa depan industri Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement