Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

BI: Inflasi Jabar Bisa Dijaga Jika Rantai Pasok dan Digitalisasi Dibuka

BI: Inflasi Jabar Bisa Dijaga Jika Rantai Pasok dan Digitalisasi Dibuka Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Warta Ekonomi, Garut -

Sepanjang Januari–November 2025, Jawa Barat tercatat mengalami tujuh kali inflasi, dengan kontributor utama berasal dari komoditas pangan strategis seperti beras, cabai merah, minyak goreng, telur ayam ras, serta sayur-mayur. Tekanan inflasi dipicu oleh kombinasi lonjakan permintaan, gangguan cuaca, dan distribusi yang belum efisien.

Pelaksana Harian Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, Muslimin Anwar, menyebut inflasi sebagai cerminan langsung dari ketahanan pangan dan kinerja rantai pasok. Ia menyoroti paradoks yang terjadi tahun ini.

“Produksi beras naik signifikan hingga 5,91 juta ton atau meningkat 18,64 persen dibandingkan 2024. Namun, harga beras di pasar masih melampaui HET. Ini menandakan adanya persoalan di titik-titik kritis distribusi,” ungkap Muslim dalam High Level Meeting (HLM) Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) Provinsi Jawa Barat, yang digelar menjelang momentum Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 di Kabupaten Garut, Selasa (9/12/2025).

Baca Juga: BI Ungkap Indeks Keyakinan Konsumen Naik di November 2025

Masalah diperparah oleh realisasi penyaluran beras SPHP yang hingga pertengahan November 2025 baru mencapai 24,67 persen dari target, serta masih tingginya margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) pada sejumlah komoditas utama.

Secara spasial, inflasi di Jawa Barat menunjukkan ketimpangan. Kota Sukabumi dan Kota Bekasi mencatat inflasi year-to-date tertinggi, sementara Kabupaten Subang menjadi wilayah dengan inflasi terendah.

“Data ini menunjukkan bahwa pengendalian inflasi harus berbasis karakter daerah, tidak bisa menggunakan pendekatan satu kebijakan untuk semua wilayah,” kata Muslimin.

Selain fokus pangan, Bank Indonesia dan Pemprov Jawa Barat menilai digitalisasi transaksi pemerintah daerah sebagai instrumen penting dalam menjaga stabilitas ekonomi. Sepanjang 2025, implementasi QRIS TAP dan Kartu Kredit Indonesia (KKI) menunjukkan capaian signifikan.

Hingga November 2025, nilai transaksi KKI di Jawa Barat mencapai Rp164,03 miliar dari 50.106 transaksi, dan seluruh pemerintah daerah berhasil mempertahankan status “Digital” dalam Indeks Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (IETPD).

“Digitalisasi bukan sekadar teknologi, tetapi alat kebijakan fiskal agar belanja publik lebih transparan, cepat, dan tepat sasaran,” tegas Muslimin.

Bank Indonesia memprakirakan inflasi Jawa Barat 2026 tetap berada di kisaran 2,5 ± 1 persen, meski sejumlah risiko membayangi, mulai dari potensi penyesuaian tarif listrik dan LPG 3 kg, dampak La Niña terhadap produksi hortikultura, hingga kenaikan permintaan akibat UMP dan program bantuan pangan.

Untuk merespons risiko tersebut, empat strategi utama disiapkan; penguatan peran BUMD pangan sebagai offtaker, integrasi dan digitalisasi data pangan,. modernisasi pascapanen dan cold storage dan edukasi diversifikasi pangan lokal.

“Inflasi pangan harus dikelola dengan pendekatan ekosistem, bukan sekadar operasi pasar,” ujarnya.

Adapun, Wakil Gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan menyoroti persoalan klasik pengendalian inflasi di Jawa Barat yang hingga kini belum sepenuhnya terselesaikan: produksi pangan meningkat, tetapi harga di tingkat konsumen masih tinggi. Kondisi ini dinilainya sebagai sinyal adanya masalah struktural pada rantai pasok dan distribusi, yang membutuhkan keterbukaan data serta sinergi lintas sektor, khususnya dari kawasan industri dan pelaku usaha.

Baca Juga: BI Buka Suara Soal Pembobolan Rp200 miliar Lewat BI Fast

Erwan juga mennyoriti lemahnya keterbukaan data dari sektor industri, meski Jawa Barat memiliki 59 kawasan industri dan sejumlah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Menurutnya, minimnya transparansi turut berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang masih berada di 5,20 persen, di bawah target 5,5 persen.

Erwan optimistis, melalui sinergi TPID dan TP2DD, inflasi Jawa Barat yang saat ini 2,19 persen (ytd) tetap terjaga, sekaligus menjadi fondasi memperkuat pertumbuhan ekonomi menuju 2026.

“Kalau industrinya terbuka, kebijakan bisa tepat. Inflasi bisa dikendalikan, pertumbuhan pun bisa dipacu,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: