China Makin Agresif terhadap Jepang, Indonesia Didorong Kedepankan Netralitas
Kredit Foto: Istimewa
“Adanya saling ketergantungan diduga mencegah perang. Oleh karenanya salah satu strategi yang dapat ditempuh oleh ASEAN dan Indonesia adalah menciptakan situasi saling ketergantungan itu,” tuturnya.
Laksma Oka juga menekankan pentingnya Indonesia menciptakan ‘ambiguitas strategis’ sehingga membuat kubu-kubu yang saling bersaing mengalami kesulitan untuk menilai keberpihakan Indonesia.
“Bila kami di Bali sedang berselancar di laut, yang paling kami khawatirkan adalah bila dua ombak bertemu. Demikian juga Indonesia dalam berselancar di antara kekuatan besar. Kita harus berupaya agar kedua ombak tersebut tidak bertemu,” katanya.
Sementara itu, pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Chaula Rininta Anindya, PhD, menjelaskan mengenai respons agresif China terhadap pernyataan Perdana Menteri Jepang di atas.
Menurutnya, respons yang mencakup aspek diplomasi, ekonomi, dan keamanan itu bukanlah hal yang baru pertama kali dilakukan China.
“China pernah melakukan strategi serupa ketika berada dalam situasi konflik dengan Korea Selatan mengenai penempatan ‘Baterai Pertahanan Area Terminal Jangkauan Tinggi’ (THAAD) sekitar satu dasawarsa lalu,” jelasnya.
Berdasarkan penuturannya, saat itu China juga melakukan larangan bagi warganya untuk melakukan perjalanan ke Korea Selatan, melakukan pelarangan terhadap produk dan entertainment asal Korea, melakukan penutupan pusat belanja asal Korea, yaitu Lotte, di China, serta melakukan tekanan militer dengan mengirim pesawat China memasuki zona pertahanan Korea Selatan.
Ketua FSI, Johanes Herlijanto, menambahkan penjelasan mengapa China merespons pernyataan Perdana Menteri Jepang dengan sangat keras.
“Pertama, isu Taiwan merupakan isu sensitif bagi Beijing karena berkaitan erat dengan legitimasi Partai Komunis China (PKC), upaya China mengambil kembali apa yang mereka anggap sebagai ‘teritorial yang hilang’ (lost territories), serta pengakuan dari negara lain terhadap apa yang China anggap sebagai kedaulatannya,” tuturnya.
Namun, menurutnya alasan kedua mengapa China begitu agresif adalah karena Jepang merupakan sosok yang dikonstruksi oleh China sebagai sosok antagonis melalui narasi sejarah dan budaya populer di China. Selain itu, menurutnya, situasi internal China juga memainkan peran penting di balik sikap keras China.
Baca Juga: Pemerintah Jepang Tak Akan Intervensi Proyeksi Kenaikan Suku Bunga Yen
“Kondisi dalam negeri China tidak sedang dalam keadaan terbaik. Selain situasi ekonomi yang sempat mengalami perlambatan, dalam beberapa tahun terakhir terdapat pula peristiwa yang berpotensi mempengaruhi situasi politik, seperti pemecatan beberapa pejabat tinggi militer maupun sipil,” tegas Johanes.
Oleh karenanya, ia menduga Beijing merasa penting untuk menggalang dukungan nasionalisme dari rakyatnya. “Eskalasi ketegangan dengan Jepang dapat menjadi bahan bakar bagi penggalangan nasionalisme semacam itu,” katanya.
Johanes juga mendukung sikap netralitas serta strategi bebas dan aktif yang diterapkan oleh Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. “China dulu dikenal sebagai negara yang menekankan kerendahan hati (low profile), tetapi sejak kepemimpinan Presiden Xi Jinping, China berubah menjadi lebih asertif, bahkan cenderung agresif. Apa yang akan terjadi bila China menjadi semakin dominan tanpa adanya kekuatan penyeimbang?,” kata Johanes.
Pandangan menarik juga diungkapkan oleh Profesor Anak Agung Banyu Perwita. Ia menuturkan pentingnya memahami sudut pandang China dalam upaya memperoleh gambaran menyeluruh tentang postur geopolitik di Asia Timur dan Asia Tenggara saat ini.
Menurut dia China tahu persis bahwa ASEAN tidak bersatu. Selain itu, China juga dinilai memiliki kepentingan terhadap keamanan di Selat Malaka. Yang juga menarik, Prof Banyu berpandangan bahwa sangat mungkin China sedang mengeksploitasi sikap netralitas dari negara-negara Asia Tenggara.
“Sikap tidak condong ke Amerika Serikat atau pun ke Beijing, tetapi bisa sedikit miring ke China, nampaknya merupakan sikap yang diinginkan China,” tuturnya.
Meski demikian, ia mendukung sikap netralitas Indonesia dalam menanggapi ketegangan yang sedang berlangsung. Pada sisi lain, ia menekankan pentingnya Indonesia untuk mengedepankan nasionalisme ekonomi secara selektif, termasuk berupaya membangun kemandirian ekonomi (self-sufficiency) secara selektif.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait:
Advertisement