Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Krisis Regulasi, Banjir Surat Edaran Kepala Daerah Bisa Hambat Usaha dan Buat Publik Bingung

Krisis Regulasi, Banjir Surat Edaran Kepala Daerah Bisa Hambat Usaha dan Buat Publik Bingung Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Warta Ekonomi, Bandung -

Fenomena kepala daerah yang semakin mudah menerbitkan Surat Edaran (SE) kini dinilai sebagai alarm bahaya dalam sistem hukum Indonesia.

SE yang sejatinya bersifat internal justru diperlakukan layaknya aturan yang mengikat publik, bahkan sering kali menabrak peraturan yang lebih tinggi. Pakar menyebut kondisi ini sebagai gejala kacau-balaunya tata kelola regulasi di tingkat daerah.

Maraknya penerbitan SE oleh kepala daerah kini dipandang sebagai tanda kedaruratan tata kelola regulasi. Para pakar sepakat bahwa SE telah bergeser dari fungsinya sebagai instrumen internal menjadi quasi regulation yang berpotensi merusak kepastian hukum, mengganggu usaha, dan membuat ekonomi tersendat.

Para ahli hilir-mudik mengingatkan, jika dibiarkan, SE bisa berubah menjadi alat kekuasaan yang membingungkan publik dan melumpuhkan industri.

Baca Juga: Akademisi Unpad: Kasus Erwin dan Awangga, Alarm Keras Gagalnya Reformasi Birokrasi Bandung

Pakar Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba), Ruli K. Iskandar, mengibaratkan hukum sebagai koridor lurus sementara SE hanya sebuah instrumen kecil di dalamnya.

“SE tidak bisa dibuat seenaknya menabrak koridor hukum. Itu bisa digugat balik dan dievaluasi Mendagri,” tegasnya dalam IDE (Iweb Dialog Ekonomi), Rabu (11/12/2025).

Ruli menyebut banyak kepala daerah yang keliru memahami fungsi SE hingga menggunakannya seolah-olah seperti titah raja atau kebebasan penuh yang dikenal dengan istilah freies ermessen. Padahal, jika ingin mengatur publik, mestinya dibuat Perda yang melalui konsultasi formal.

Ia mengingatkan, Mendagri bisa memberikan sanksi bila SE menimbulkan keresahan publik atau mengganggu iklim usaha, seperti kasus SE Gubernur Bali soal larangan menjual air minum kemasan di bawah 1 liter.

Adapun, Pakar Kebijakan Publik, Agus Pambagio, menilai SE kini telah menjadi “jalan pintas birokrasi” untuk membuat aturan tanpa uji regulatif yang layak.

“Jangan salah kaprah. Sesuai UU No 12/2011, SE itu mengikat internal, bukan untuk atur publik,” ujarnya.

Menurut Agus, SE yang melarang truk ODOL mengangkut air mineral memang terlihat baik, tetapi berpotensi memunculkan pungli karena dijadikan dasar tindakan ilegal.

“Sopir bisa kena tilang ilegal karena SE bukan dasar hukum. Mustinya Perda,” katanya.

Kasus terbaru datang dari Jawa Barat. Dua SE yang diterbitkan Gubernur Dedi Mulyadi, penghentian pembangunan perumahan di Bandung Raya dan pelarangan truk sumbu tiga pengangkut AMDK menimbulkan polemik besar. Pelaku industri, sopir, hingga pengembang mengeluhkan dampaknya.

Sektor usaha menganggap kebijakan itu menghambat ekonomi, sementara sopir truk kehilangan pekerjaan karena harus menyesuaikan armada.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Unpas, Acuviarta Kartabi, mengingatkan bahwa regulasi yang sporadis justru mengancam pemulihan ekonomi Jawa Barat.

“AMDK berkontribusi besar. Ada tenaga kerja, ada rantai pasok panjang. Jangan sampai kebijakan pemerintah malah memberangus sektor industri,” katanya.

Ia menyoroti kemungkinan adanya pendapatan perusahaan besar yang tidak tercatat sehingga kontribusi sektor AMDK terlihat kecil padahal besar.

Sedangkan, dari sudut pandang transportasi, pakar ITB Sonny Sulaksono menilai banjir SE adalah warisan era pandemi ketika pemerintah sering mengeluarkan aturan cepat tanpa kajian.

“SE itu jadi seperti titah raja. Gubernur itu bukan raja,” tegasnya.

Sonny bahkan menyarankan perusahaan AMDK tidak mengikuti SE yang dinilai tanpa koordinasi dengan pemda setempat. Ia menilai banyak OPD menjadi “kerdil” karena aturan-aturan instan tersebut.

Ia mengusulkan pemerintah menyediakan akses logistik langsung ke jalan tol sebagai solusi, bukan membatasi operasional truk melalui SE.

Baca Juga: Pasar Lelang Bandung Makin Bergairah, JBA Siapkan Area untuk 650 Unit Kendaraan

Dari sisi pelaku industri, Direktur Eksekutif Asparminas Idham Arsyad menyebut SE Gubernur Jabar justru dapat menurunkan standar logistik nasional karena memaksa industri menggunakan truk berukuran kecil.

Survei internal Asparminas menunjukkan industri AMDK harus menambah lebih dari 2.700 kendaraan baru, padahal vendor hanya sanggup memproduksi 180 unit per tahun.

Ia juga menolak wacana larangan produksi AMDK di bawah 1 liter yang dinilainya absurd dan tak mempertimbangkan dampak ekonomi.

“Implementasi SE tidak boleh melemahkan industri. Pemerintah harus siapkan infrastruktur alternatif dan lakukan uji coba bertahap,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: