Jaga 6,1 Juta Pekerja, Kemenaker Soroti Dampak Regulasi Ketat terhadap Lapangan Kerja Industri Padat Karya
Kredit Foto: Antara/Yusuf Nugroho
Pemerintah lewat Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), menyatakan tekadnya untuk memastikan kelangsungan sektor padat karya, seperti Industri Hasil Tembakau (IHT), yang sedang mengalami tekanan regulasi.
Regulasi yang dinilai terlalu keras, tumpang tindih, atau tidak seimbang dianggap dapat memperbesar potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sektor tersebut.
C Heru Widianto, Direktur Kelembagaan dan Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial Kemenaker, menyatakan dinamika regulasi di bidang tembakau semakin mengencang, khususnya dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Dampak berantai dari kebijakan ini telah memengaruhi langsung turunnya volume produksi dan penyerapan pekerja.
Pada Kuartal I-2025, catatan menunjukkan industri pengolahan tembakau mengalami kontraksi tahunan (year-on-year) sebesar 3,77%. Penurunan ini paling nyata di sektor padat karya, contohnya pada produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan kegiatan pengemasan.
Heru menekankan bahwa instruksi Presiden RI Prabowo Subianto tegas: menjaga stabilitas dan keberlanjutan penghidupan bagi jutaan pekerja di tengah perubahan ekonomi global dan domestik. Oleh karena itu, prioritas pemerintah saat ini adalah deregulasi guna menaikkan daya saing industri padat karya.
“Di tengah instabilitas global dan dinamika ekonomi nasional, pemerintah terus berupaya untuk memberikan dukungan dan memastikan keberlangsungan mata pencaharian jutaan pekerja dari sektor padat karya, sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo,” ujar Heru.
Ia menjelaskan bahwa IHT memiliki karakteristik unik di Indonesia. Berdasarkan klasifikasi Kementerian Perindustrian (Kemenperin), IHT menopang sekitar 6,1 juta pekerja yang tersebar di sektor pertanian, manufaktur, distribusi, hingga ritel.
“Meskipun penerimaan cukai meningkat, produksi fisik rokok turun, menimbulkan dampak signifikan terhadap lapangan kerja di sektor padat karya seperti pelintingan dan pengemasan,” paparnya.
Baca Juga: Roadmap IHT Dinilai Penting untuk Lindungi Masa Depan Industri Tembakau
Heru juga menyampaikan kekhawatiran terhadap wacana penyeragaman kemasan rokok dengan warna yang sama (plain packaging), yang dinilai dapat memperburuk kondisi ketenagakerjaan. Regulasi yang memberatkan IHT berpotensi meningkatkan angka pengangguran secara signifikan.
Data Forum Pekerja IHT menunjukkan bahwa estimasi PHK di sektor mesin (SKM dan SPM) pada periode Januari–Oktober 2025 diproyeksikan mencapai 20.000 hingga 30.000 pekerja. Tekanan regulasi dan pasar tidak hanya berdampak pada pabrikan besar, tetapi juga menyentuh Industri Kecil dan Menengah (IKM), sektor ritel, dan rantai pasok. Jumlah tenaga kerja di sektor ini menurun dari 323.380 orang pada 2017 menjadi 246.587 orang pada 2021.
Dampak juga dirasakan oleh penjual mikro seperti warung dan toko, di mana penjualan rokok menyumbang 20–40% dari omzet. Kebijakan pembatasan penjualan, seperti Pasal 434 ayat (1) PP Nomor 28 Tahun 2024 yang melarang penjualan eceran per batang, diperkirakan akan memengaruhi sekitar 33,08% ritel atau 734.799 pekerja.
Untuk memitigasi dampak tersebut, Kemenaker mendorong koordinasi lintas sektor dan komunikasi aktif antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja. Tujuannya adalah menjaga stabilitas hubungan industrial dan memastikan kebijakan pengendalian zat adiktif tidak menimbulkan dampak sosial ekonomi yang luas.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement