Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Digitalisasi Pembayaran, Solusi Mengatasi Cashflow Gap untuk Rantai Pasok di Indonesia

Digitalisasi Pembayaran, Solusi Mengatasi Cashflow Gap untuk Rantai Pasok di Indonesia Kredit Foto: Istimewa | Ilustrasi Gambar: Seorang pebisnis memanfaatkan Paper untuk digitalisasi invoice dan pembayaran B2B
Warta Ekonomi, Jakarta -

Selama ini, pembahasan transformasi rantai pasok di Indonesia hampir selalu berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik, mulai dari pelabuhan, jalan logistik, hingga gudang dan sistem distribusi. Namun, di balik arus barang yang kian terintegrasi, terdapat satu bottleneck struktural yang kerap luput dari perhatian, yakni proses pembayaran yang lambat, manual, dan tidak efisien.

Paper.id (Paper) sebagai penyedia solusi digitalisasi invoice dan pembayaran B2B melihat bahwa hambatan terbesar dalam rantai pasok justru sering terjadi pada titik yang paling fundamental, yakni arus kas.

Pasalnya, keterlambatan pembayaran bukan sekedar persoalan administratif antarperusahaan, melainkan masalah sistemik yang berdampak langsung pada kecepatan distribusi, stabilitas usaha, dan daya saing ekonomi nasional.

Persoalan ini semakin relevan di tengah konsolidasi ekonomi dan kompetisi lintas industri yang kian ketat. Banyak perusahaan telah menginvestasikan sumber daya besar untuk meningkatkan efisiensi operasional mulai dari digitalisasi logistik, sistem manajemen inventori, hingga optimalisasi rantai distribusi.

Namun ketika pembayaran tertahan, seluruh efisiensi tersebut kehilangan daya dorongnya. Arus barang dapat bergerak lancar, tetapi arus uang yang tersendat membuat roda bisnis berjalan setengah langkah.

Berbagai riset global menunjukkan bahwa pembayaran kini telah berevolusi dari fungsi pendukung menjadi penentu utama kecepatan likuiditas dan pertumbuhan usaha. Bain & Company, dalam laporan yang bertajuk Embedded Finance: What It Takes to Prosper in the New Value Chain, mencatat korelasi kuat antara digitalisasi pembayaran dan percepatan likuiditas perusahaan.

Embedded finance, yakni integrasi layanan keuangan langsung ke dalam proses bisnis seperti digitalisasi pembayaran dan percepatan likuiditas, menempatkan pembayaran sebagai segmen dengan pertumbuhan tercepat dan menyumbang lebih dari setengah nilai transaksi global.

Lebih jauh, Bain mencatat bahwa segmen pembayaran B2B tumbuh hampir empat kali lipat, sementara pembiayaan B2B (yang memungkinkan pembiayaan berbasis data transaksi real-time) mengalami pertumbuhan hingga lima kali lipat.

Temuan ini menegaskan bahwa pembayaran tidak lagi berfungsi sebagai tahap akhir transaksi, melainkan sebagai growth engine yang memungkinkan bisnis bergerak lebih cepat, fleksibel, dan adaptif terhadap perubahan permintaan.

Di Indonesia, tantangan tersebut muncul dalam konteks yang lebih kompleks. Laporan Payment Practices Barometer – Indonesia 2025 dari Atradius mengungkap bahwa lebih dari 70 persen pelaku rantai pasok menghadapi keterlambatan pembayaran yang berujung pada cashflow gap.

Hampir separuh nilai faktur B2B dibayar melewati jatuh tempo, dengan rata-rata bad debts mencapai 8 persen. Sekitar 49 persen transaksi B2B dilakukan dengan termin pembayaran sekitar 50 hari, namun ketika terjadi keterlambatan, waktu penagihan membengkak hingga rata-rata 73 hari.

Data tersebut menegaskan bahwa keterlambatan pembayaran bukanlah anomali, melainkan pola struktural. Setiap tambahan hari dalam siklus penagihan berarti modal kerja yang tertahan, perputaran barang yang melambat, serta peluang penjualan yang hilang. Risiko ini tidak berhenti pada satu perusahaan, tetapi menyebar ke seluruh ekosistem, mulai dari pemasok bahan baku hingga distributor dan pengecer.

Tantangan ini semakin berat ketika dikaitkan dengan karakteristik ekonomi Indonesia. Data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menunjukkan bahwa biaya logistik nasional masih berada di level tinggi, mencapai sekitar 14,2 persen dari PDB.

Tak pelak, biaya logistik yang mahal meningkatkan kebutuhan modal kerja, sementara keterlambatan pembayaran memperpanjang siklus distribusi. Kombinasi keduanya membuat beban pembiayaan usaha semakin berat dan mempersempit ruang ekspansi.

Dalam konteks ini, pembayaran tidak lagi dapat diperlakukan sebagai urusan administratif semata, melainkan sebagai bagian dari infrastruktur ekonomi. Kristofer Haliansyah, VP Enterprise Network Paper, menilai bahwa banyak inefisiensi terbesar justru bersumber dari proses yang selama ini dianggap sepele.

“Masalah di industri bukan hanya logistik,” ujar Kristofer kepada Warta Ekonomi, Jumat (5/12/2025).

“Hampir semua sektor menghadapi proses pembayaran yang berat, manual, dan rawan error. Rata-rata pembayaran Business-to-Business (B2B), sejak jatuh tempo sampai benar-benar dibayar, bisa makan waktu 2 bulan,” imbuhnya.

Gambar: Kristofer Haliansyah, VP of Enterprise Network Paper

Dalam rantai pasok, setiap hari keterlambatan pembayaran memiliki implikasi langsung terhadap perputaran stok dan arus kas. Menurut Kristofer, efisiensi operasional tidak akan menghasilkan dampak optimal tanpa diiringi efisiensi pembayaran.

Operational efficiency is useless without payment efficiency. Kalau supply chain cuma efisien barangnya, sementara duitnya macet, ya tetap enggak bergerak,” tegasnya.

Transformasi digital di sektor B2B sebenarnya telah berjalan, meski dengan kecepatan yang tidak merata. Studi Badrawani berjudul The Role of Digital Payments in Driving Regional Economic Growth turut menunjukkan bahwa adopsi pembayaran digital di sektor konsumen lebih cepat karena didorong pemain ritel dan e-commerce besar. Sebaliknya, di sektor B2B, digitalisasi kerap terhambat oleh kebiasaan lama yang masih mengandalkan dokumen fisik.

“Stigma hard copy itu kuat sekali,” kata Kristofer. “Padahal pemerintah sudah mendorong digitalisasi dokumen, misalnya melalui meterai elektronik. Tapi invoice masih harus kertas, approval manual, dan dokumen dikirim fisik.”

Ironisnya, meski banyak perusahaan telah mengadopsi sistem Enterprise Resource Planning (ERP) yakni sistem terintegrasi untuk mengelola proses bisnis, dan Warehouse Management System (WMS) untuk pengelolaan gudang, titik paling lambat justru sering berada pada proses pembayaran yang masih manual.

Di tengah tantangan tersebut, pelaku industri mulai mencari instrumen pembayaran yang memberikan fleksibilitas tanpa menambah kompleksitas. Salah satu instrumen yang mengalami pergeseran fungsi signifikan adalah penggunaan kartu kredit dalam transaksi bisnis. Dalam rantai pasok, instrumen kartu kredit memungkinkan pembeli merespons lonjakan permintaan tanpa menunggu pencairan dana, sementara penjual memperoleh kepastian pembayaran yang lebih cepat dan terprediksi.

Fleksibilitas ini semakin strategis ketika dikaitkan dengan mekanisme pembayaran terintegrasi, di mana pembeli memperoleh kelonggaran waktu pembayaran melalui mitra pembiayaan, sementara penjual menerima dana lebih awal. Dengan mekanisme pembayaran yang lebih fleksibel, pertumbuhan bisnis tidak lagi dibatasi oleh keterbatasan modal kerja jangka pendek.

“Misalnya distributor ingin menambah stok karena permintaan naik, tapi dananya belum cair dari pembeli sebelumnya,” jelas Kristofer. “Dengan sistem seperti ini, mereka tetap bisa jalan tanpa menunggu 30 hari atau lebih.”

Pembayaran yang terhubung langsung dengan invoice tertentu juga meningkatkan transparansi, mengurangi risiko rekonsiliasi, dan memperkuat akuntabilitas antar pihak. Dalam jangka panjang, fleksibilitas pembayaran membuka ruang ekspansi pasar yang sebelumnya tertahan oleh keterbatasan likuiditas.

Dalam ekosistem yang semakin terintegrasi, Paper memosisikan diri bukan sekadar sebagai platform transaksi, melainkan sebagai infrastruktur likuiditas berbasis invoice. Invoice diperlakukan sebagai aset likuiditas yang menghubungkan supplier, distributor, buyer, dan lembaga keuangan dalam satu alur pembayaran terpadu. Pendekatan ini menjadikan pembayaran sebagai fondasi stabilitas rantai pasok, bukan sekadar pelengkap proses bisnis.

Pada akhirnya, digitalisasi pembayaran memiliki dampak yang melampaui kepentingan individual perusahaan. Arus kas yang lebih lancar mempercepat perputaran barang, menurunkan risiko gagal bayar, dan meningkatkan kepercayaan antar pelaku usaha.

Dalam skala yang lebih besar, hal ini berkontribusi pada stabilitas rantai pasok nasional, efisiensi ekonomi, serta peningkatan daya saing industri Indonesia di tengah dinamika global yang semakin kompleks dengan persaingan yang jauh lebih ketat.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: