Kredit Foto: Istimewa
Ketidakpastian mekanisme penyitaan agunan dinilai berpotensi meningkatkan biaya kredit di sektor jasa keuangan, terutama bagi pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) skala kecil seperti koperasi dan bank perkreditan rakyat (BPR). Kondisi ini dinilai memperbesar risiko penagihan kredit dan berdampak langsung pada perhitungan bunga serta biaya pembiayaan bagi konsumen.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai hingga kini belum terdapat mekanisme penyitaan agunan yang tegas, terstruktur, dan memberikan kepastian hukum ketika debitur mengalami keterlambatan pembayaran.
Huda menjelaskan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK 22/2023 memang telah mengatur tata cara penagihan kredit, namun regulasi tersebut belum secara rinci mengatur prosedur penyitaan agunan. Akibatnya, masih terdapat celah ketidakpastian hukum dalam proses pengambilalihan aset yang diagunkan.
“Jika telat bayar, harus ada mekanisme sendiri terkait penyitaan aset PUJK yang diagunkan,” ujar Huda, dalam keterangannya kepada Warta Ekonomi, Selasa (23/12/2025).
Baca Juga: Polemik Pelarangan Debt Collector di Sektor Keuangan
Menurutnya, ketiadaan mekanisme penyitaan yang jelas membuat PUJK menghadapi risiko gagal tagih yang lebih tinggi. Risiko tersebut pada akhirnya dimasukkan dalam perhitungan harga kredit, baik dalam bentuk bunga yang lebih tinggi maupun tambahan biaya lain, sehingga berdampak langsung pada konsumen.
Selain itu, Huda menilai ketidakpastian ini juga membuka ruang bagi munculnya praktik penagihan informal yang berpotensi meresahkan masyarakat. Ia menekankan bahwa proses penyitaan seharusnya dilakukan melalui jalur hukum yang kuat dan transparan.
“Harusnya melalui proses persidangan perdata yang kuat jika telat bayar dan harus ada penyitaan,” katanya.
Baca Juga: Awas! Wacana Penghapusan Debt Collector Bisa Bikin Kredit Macet Membengkak
Dalam praktik di lapangan, Huda mencatat masih sering terjadi pengambilalihan aset tanpa dokumen resmi dan tanpa pendampingan aparat penegak hukum (APH). Situasi tersebut tidak hanya memicu konflik antara debitur dan kreditur, tetapi juga meningkatkan risiko hukum bagi PUJK yang melakukan penagihan.
Ia menambahkan, kejelasan aturan penyitaan agunan akan membantu menciptakan keseimbangan antara perlindungan konsumen dan kepastian usaha bagi lembaga keuangan. Tanpa kepastian tersebut, PUJK cenderung bersikap lebih konservatif dalam menyalurkan kredit.
“Tanpa kejelasan, lembaga keuangan akan memperketat kredit atau menaikkan biaya sebagai kompensasi risiko,” ujarnya.
Lebih jauh, Huda menilai kepastian mekanisme penyitaan bukan semata persoalan penagihan, melainkan bagian dari upaya menjaga efisiensi sistem pembiayaan secara keseluruhan. Ketidakpastian hukum dinilai berpotensi meningkatkan biaya ekonomi akibat sengketa kredit dan praktik penagihan yang tidak terstandar.
Dalam konteks tersebut, ia menekankan pentingnya peran regulator untuk memperjelas prosedur penyitaan agunan agar risiko kredit dapat dikelola secara lebih efisien dan berkeadilan, baik bagi konsumen maupun pelaku usaha jasa keuangan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Azka Elfriza
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement