Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indopos: Kami Diminta Mengemas Cerita Positif Jero Wacik

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Pemimpin redaksi harian Indopos Muhammad Noer Sadono alian Don Kardono mengakui mendapat Rp2 miliar untuk pencitraan Kementerian ESDM dan mantan menteri ESDM Jero Wacik yang disebut sebagai "smart reporting".

"Saya diminta Pak Waryono untuk membantu pencitraan atau mengemas cerita positif tentang Jero Wacik, yang kami tawarkan adalah 'smart reporting' yaitu memberi nuansa positif terhadap kementerian yang dipimpin Pak Jero Wacik," kata Don Kardono dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi(Tipikor) Jakarta, Senin (23/11/2015).

Don menjadi saksi untuk Jero Wacik yang dalam dakwaan disebutkan menggunakan Rp2,5 miliar yang berasal dari Dana Operasional Menteri untuk melakukan pencitraan di Koran Indopos pada Januari-Februari 2012.

"Pak waryono dimintakan tolong untuk membangun citra kementerian yang dipimpin Pak Jero, bentuknya bukan iklan karena kalau iklan kelihatan dan tidak efektif di mata pembaca. Saya membuat 'draft' yang tujuannya sama untuk pencitraan. Pemberitaan ini satu kesatuan, untuk pak menteri dan untuk kementerian ESDM," ungkap Don.

Don mengaku sudah lama kenal dengan Waryono Karno sehingga ia mau saja diundang Waryono untuk rapat agar membantu pencitraan Jero.

"Kalau tidak salah saat itu, ada rencana kenaikan BBM, jadi kementerian akan disorot publik. Bentuknya berita kemudian dipasang foto Pak Jero Wacik yang dalam 'statement'-nya menjelaskan versi negara seperti ini yang memberi kesan menjelaskan ke publik yang kesimpulan koran adalah positif untuk negara, kemudian juga dilengkapi dengan grafis," jelas Don.

Kontrak kemudian ditandatangani oleh Don Kardono dan Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Kementerian ESDM Ego Syahrial sejak 19 Januari 2012 hingga Januari 2013.

"Namun hanya 3 bulan kemudian diputus, proses pemutusannya juga kami tidak bisa konfirmasi, tidak ada surat dari Pak Waryono dan kami tidak tahu harus dilanjutkan atau tidak. Kami kirim SMS tidak dijawab, ditelepon tidak diangkat sampai sekarang sehingga kami dalam ketidakpasatian," jelas Don.

Don mengaku dalam rapat awal, Waryono menjelaskan uang untuk pencitraan tersebut adalah dana "non-budgeter" alias bukan berasal dari APBN.

"Saya dipanggil pak Waryono ke kantor beliau dan beliau mengatakan ini untuk kita-kita saja, toh ini dana non budgeter bukan dana negara. Kalau saya tidak bayar 'you' bisa nagih, jadi tidak usah memikirkan detil karena beliau bilang ini bukan dana negara, jadi 'B to B' saja, kami tawarkan program dan beliau butuh program itu, kami ketemu dalam transaksi bisnis biasa," ungkap Don.

Namun sepanjang pemberitaan tersebut, Don tidak berhubungan dengan Jero Wacik.

"Setiap tulisan kita sampaikan dulu ke Pak Waryono Karno karena saya tidak handle langsung. Saya dan tim lalu berkomunikasi dengan pak Waryono kalau sudah OK baru kita naikkan," jelas Don.

Don juga mengklaim bahwa Koran Indopos juga punya tempat di mata tokoh-tokoh masyarakat sehingga dipilih oleh Waryono.

"Saya kira betul bahwa berita di kami memang dibaca tokoh-tokoh masyarakat sehingga menjadi perbincangan di tokoh-tokoh tersebut, dan kami sudah membuktikan itu dan jadi penyebab mengapa pak Waryono memilih kami untuk jadi tempat pencitraan. Waryono melihat Indopos grup yang kuat karena punya anak perusahaan di daerah-daerah dan beliau yakin dengan membuat pencitraan, menciptakan berita di Indopos akan tersebar luas di publik, stakeholder dan pimpinan-pimpinan terkait," tegas Don.

Jero sendiri setuju dengan gagasan Don tersebut.

"Saya memang setuju dengan anda, PR (public relation)-ing, lebih tepat perkataan kita, yang bagus juga 'smart reporting' kata-kata jurnalis yang bagus dibanding kata pencitraan. Pencitraan konotasinya negatif, saya mau gunakan PR-in, itu yang mau saya arahkan eselon 1 saya," kata Jero.

Atas tindakan tersebut, Jero didakwa berdasarkan pasal 12 huruf e atau Pasal 11 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. (ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Achmad Fauzi

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: