WE Online, Jakarta- Dari pengaduan yang masuk ke OJK, setengahnya terkait dengan asuransi. Apa sertifikasi agen asuransi sudah optimal?
November tahun lalu, Subari Mohammad dihubungi seorang pemasar asuransi lewat pemasar telepon. Telemarketer tersebut mengatakan bahwa Subari memeroleh asuransi dari akun kartu kredit yang dimilikinya sebagai bentuk apresiasi loyalitas dari bank penerbit kartu kredit tersebut. Si penelepon mengatakan Subari tidak akan rugi jika mengikuti program ini. Setelah mengetahui akan dikenakan premi senilai Rp770.000 setiap bulan dan tagihannya masuk ke kartu kredit, Subari mengatakan tidak berminat.
Tidak lama kemudian orang tersebut kembali menelepon. Dia mengatakan Subari telah terlindung dan program ini akan batal dengan sendirinya jika dia tidak membayar premi selama tiga bulan berturut-turut. Di bulan Desember, Subari menerima surat dari perusahaan asuransi yang menginformasikan bahwa dia sudah tertanggung dan berisi nomor polisnya.
Namun, dalam tagihan kartu kreditnya di bulan Januari dan Februari, dia dikenakan tagihan premi. Di akhir Januari, dia menghubungi pihak bank dan menolak tagihan polis asuransi. Selain itu, dia juga menghubungi pihak asuransi. Pihak asuransi mengatakan tagihan yang sudah dia bayarkan tidak dapat dikembalikan karena Subari dianggap setuju setelah melewati batas waktu 14 hari setelah polis diterima.
Kasus asuransi yang menimpa Subari hanyalah satu dari banyak kasus yang terjadi antara nasabah dan perusahaan asuransi di industri ini. Dari 1 Januari hingga 10 Maret 2014, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerima 1.479 pengaduan dimana hampir 50%-nya, atau sekitar 600-an, terkait dengan industri asuransi. Rata-rata, nasabah melaporkan soal produk unitlink yang mereka beli dan klaim asuransi yang tidak dibayarkan. Di beberapa kasus, pemegang polis beranggapan bahwa mereka di-cover, ternyata asuransi mengatakan di kontraknya bagian itu tidak di-cover.
Berdasarkan data lembaga pemeringkat Fitch Ratings, pertumbuhan industri asuransi dalam lima tahun terakhir mencapai 20% hingga 30% per tahun. Kasus-kasus tersebut ibarat fenomena gunung es. Pertumbuhan industri ini yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir ternyata menyisakan lubang yang menganga.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Julian Noor, sebagai institusi keuangan non bank (INKB) yang paling dominan, maka wajar bila pengaduan yang masuk ke OJK paling banyak dari konsumen asuransi. “Dengan pengertian bahwa kalau dilihat jumlah nasabah, memang asuransi nomor dua di masyarakat setelah perbankan,” ujar Julian.
Selain itu, dia menambahkan asuransi yang produknya bersifat perjanjian tentunya membuat potensi timbulnya pengaduan semakin besar. Dia mengakui bahwa bukan tidak mungkin terjadi misleading dalam proses penjualan, karena keterangan yang disampaikan oleh agen pemasar kepada konsumen ada yang salah atau kurang jelas.
Deputi Komisoner OJK Bidang Pengawasan Industri Keuangan Non Bank II, Dumoli Freddy Pardede mengatakan dengan jumlah pemegang polis asuransi di Indonesia yang mencapai puluhan juta, jumlah 600-an pengaduan tersebut wajar.
Namun, Dumoli mengatakan sifat kritis konsumen yang terlihat dengan inisiatif untuk melakukan pengaduan tentu positif untuk perbaikan layanan asuransi ke depan. “Ini sejalan dengan amanat UU OJK,” ujarnya. Pengaduan-pengaduan yang masuk ke Financial Customer Care (FCC) OJK menunjukkan kalau konsumen sudah semakin sadar akan hak-haknya.
Selain itu, Dumoli juga menegaskan bahwa OJK tidak menutup mata terhadap pengaduan-pengaduan yang masuk. Dia menjelaskan ada lima langkah yang dilakukan OJK IKNB. Yang pertama, OJK telah memanggil lebih kurang 11 perusahaan asuransi untuk meminta klarifikasi. Selanjutnya, OJK juga telah menyurati perintah bayar ke dua perusahaan asuransi. Selain itu, OJK menganjurkan mediasi melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). OJK juga tidak lupa memanggil dan mengadakan rapat koordinasi dengan semua asosiasi yang terkait serta melakukan edukasi. Yang terakhir, OJK melakukan pemeriksaan khusus ke perusahaan asuransi.
Selain itu, Dumoli mengatakan standarisasi bagi agen sudah ada dan diterapkan secara best practices yang dibina dan dimonitor oleh Dewan Asuransi Indonesia (DAI). Jika ada yang melanggar, baik dari agen maupun perusahaan, maka asosiasi akan melaporkan kepada OJK selaku regulator. “Kami punya Direktorat Jasa Penunjang yang mengawasinya,” ujar Dumoli.
Dumoli mengatakan, asosiasi memberikan laporan ke OJK secara reguler. Sehingga OJK juga mengawasi, membina, dan mengarahkan asosiasi untuk perbaikan layanannya ke para agen. Selain itu, untuk memonitor asosiasi untuk saat ini sudah dilakukan secara IT-based mengingat jumlah agen yang ratusan ribu.
Sertifikasi
Untuk meminimalisasi kesalahan dari sisi agen asuransi, pemerintah telah mewajibkan agen asuransi untuk disertifikasi.Di 2011, pemerintah telah mengeluarkan gagasan agar agen asuransi harus mempunyai sertifikat asuransi yang dikeluarkan oleh asuransi terkait. Dengan demikian, agen yang tidak tersertifikasi tidak boleh menjual, mengirim penawaran, dan menandatangani kontrak atau perjanjian asuransi. Selain itu, perusahaan asuransi juga dilarang memberi komisi pada agen asuransi yang tidak mengikuti proses sertifikasi.
AAUI sendiri telah menyusun sistem sertifikasi dengan model workshop setengah hari dengan dua topik utama. Para calon agen pemasar asuransi itu dijejali topik mengenai salesmanship penjualan asuransi dan konsep risk management serta prinsip-prinsip asuransi. Setelah workshop, diadakan ujian tertulis berbentuk pilihan ganda dengan jumlah soal sebanyak 100 buah dengan waktu 60 menit. Sertifikasi tersebut diadakan sekitar satu bulan sekali. Tetapi ada beberapa dimana sertifikasi diadakan sekitar dua sampai tiga bulan sekali karena alasan-alasan tertentu.
Julian mengatakan sampai saat ini, jumlah agen asuransi umum yang telah tersertifikasi mencapai sekitar 17.000 orang di seluruh Indonesia. Untuk biayanya sendiri, menurutnya bisa ada dua kemungkinan. Yang pertama, bisa agennya yang membayar dengan uang pribadi. “Karena ‘kan sertifikasi itu akan melekat ke pribadi agennya,” ujarnya. Tetapi, dia mengatakan ada juga yang tagihan dari sertifikasi tersebut ditanggung oleh perusahaannya.
Untuk memastikan keberlangsungan kualitas agen yang telah melalui proses sertifikasi tersebut, Julian menambahkan bahwa sertifikasi tersebut mempunyai masa berlaku. “Kalau lulus itu hanya berlaku dua tahun,” jelasnya. Setelah masa dua tahun tersebut, asosiasi akan mengevaluasi kinerja agen tersebut. Asosiasi akan melihat apakah ada pengaduan yang disampaikan masyarakat yang merasa dirugikan oleh agen tersebut. Asosiasi juga akan mengadakan pengecekan ke perusahaan tempat si agen bernaung. Jika menemukan laporan, asosiasi akan menahan izin perpanjangan sertifikasi si agen dan melakukan klarifikasi. Namun bila si agen dinyatakan bersih, mereka boleh mengajukan perpanjangan.
Hal yang sama juga berlaku di Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI). Bahkan, untuk mendorong semakin banyak agen yang tersertifikasi tarif ujian dipangkas. Sejak awal tahun lalu, tarif ujian sertifikasi agen dikurangi sekitar 35%-36%. Dari sekitar Rp 325 ribu menjadi Rp 225 ribu per agen, sesuai kriteria lisensi yang diuji. Penurunan tarif ini dipercaya dapat meningkatkan jumlah agen tersertifikasi hingga 25%.
Dampak dari penurunan tarif ini cukup terasa. Bila biasanya jumlah peserta ujian sertifikasi hanya sekitar 10.000 per bulan. Setelah diturunkan, jumlah peserta dapat mencapai 20.000 per bulan. Respons positif tersebut membuat AAJI cukup optimis jumlah agen yang tersertifikasi dapat mencapai 500.000 agen di tahun 2015. Per akhir 2013, jumlah agen mencapai 356.000.
Rekomendasi
Walaupun tumbuh 20%-30% dalam beberapa tahun terakhir, penetrasi asuransi di Tanah Air relatif sangat kecil. Masih dibawah 5%. Literasi keuangan memang masih menjadi tantangan utama stakeholders industri jasa keuangan di Tanah Air. Sangat disayangkan, mengingat kegunaan dari pemahaman untuk merencanakan dan mengelola keuangan secara lebih baik sangat dibutuhkan.
Kampanye literasi keuangan dan edukasi publik saja tidak cukup. Termasuk untuk di industri asuransi. Meningkatnya pengaduan yang masuk tentunya menunjukkan ada masalah yang terjadi. Bagaimanapun, hal ini dapat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan konsumen kepada perusahaan asuransi. Atau dalam skala lebih tinggi, kepercayaan pada institusi keuangan.
Untuk itu, agen pemasar sebagai ujung tombak perusahaan asuransi perlu diberi pemahaman yang memadai.Hal ini penting agar tidak terjadi salah interpretasi saat agen menjelaskan mengenai produk asuransi terhadap nasabah. Dan saat ini, sertifikasi adalah solusi yang paling masuk akal untuk menstandarisasi agen asuransi. Semua pemangku kepentingan, baik OJK, asosiasi, maupun perusahaan, dapat memastikan bahwa agen yang telah tersertifikasi benar-benar memiliki kompetensi di bidangnya. Bukan hanya sebagai prasyarat agar bisa menjual polis.
Selain itu, publik perlu diedukasi mengenai bagaimana memilih agen asuransi yang benar. Walau sudah ada peraturannya, tetapi masih banyak agen asuransi yang belum mengikuti asuransi. Masyarakat perlu diberitahu mengenai pentingnya membeli produk asuransi dari agen yang telah memiliki sertifikasi.
OJK juga harus menggandeng DAI dan asosiasi terkait, seperti AAUI dan AAJI, untuk mendorong perusahaan-perusahaan asuransi untuk melakukan sertifikasi agen. Karena jika masih ada perusahaan asuransi yang tidak mewajibkan sertifikasi bagi agennya, tentu hal ini tidak akan optimal.
Sertifikasi memang tidak menjamin kasus yang disebabkan oleh misinterpretasi antara agen dapat tidak terjadi lagi. Ini hanyalah sekadar saringan awal untuk menjamin bahwa agen yang menawarkan polis asuransi ke masyarakat memiliki standar kompetensi yang layak. Sebagai sebuah profesi, bukankah agen asuransi harus memiliki standar kompetensi yang jelas. Selanjutnya adalah bagaimana membangun infrastruktur pengawasan yang memadai. Bukan hanya oleh OJK, tetapi juga melibatkan DAI, asosiasi-asosiasi, dan juga masyarakat.
Sumber: Majalah Warta Ekonomi No 9/2014
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: https://wartaekonomi.co.id/author/jafei
Editor: Arif Hatta
Tag Terkait:
Advertisement