Hadapi Ancaman Produk Impor, Industri Petrokimia Harus Diselamatkan Demi Stabilitas Ekonomi
Industri petrokimia nasional menghadapi ancaman serius akibat lonjakan penetrasi produk impor dan penurunan permintaan dari sektor hilir, khususnya tekstil. Tantangan ini semakin memperburuk kondisi sektor manufaktur, yang sebelumnya telah terguncang oleh meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan penutupan pabrik.
Menurut laporan East Asia and Pacific Economic Update Bank Dunia edisi Oktober 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan sebesar 5,0% pada 2024 dan 5,1% pada 2025. Meski lebih baik dibandingkan rata-rata kawasan Asia Pasifik, yang diprediksi tumbuh 4,8% pada 2024, tantangan domestik dapat menghambat laju pertumbuhan. Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto bahkan menargetkan pertumbuhan 8%, namun ketidakpastian regulasi dapat menjadi penghalang besar.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiyono, menyoroti dampak langsung dari pelemahan industri tekstil terhadap petrokimia. “Utilisasi pabrik petrokimia saat ini hanya mencapai 50%. Ini mengancam potensi investasi senilai Rp437 triliun,” ujar Fajar.
Ia menambahkan bahwa penurunan ini tidak lepas dari dominasi barang impor serta ketidakpastian kebijakan, seperti insentif harga gas bumi dan kepastian tax holiday.
Baca Juga: SIG dan Pertamina Lubricants Ciptakan Pelumas Lokal, Siap Lawan Produk Impor!
Sekjen Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo), Henry Chevaller, menegaskan perlunya insentif fiskal agar industri bisa lebih kompetitif. “Berikan free tax untuk industri petrokimia agar bahan baku yang dihasilkan menjadi lebih terjangkau,” kata Henry.
Ia meyakini langkah ini dapat membantu industri hilir bersaing dengan produk plastik impor yang mendominasi pasar.
Pemerintah, melalui Kementerian Perindustrian, berkomitmen menyelamatkan industri petrokimia dengan berbagai strategi, termasuk mematangkan instrumen neraca komoditas untuk memantau keseimbangan pasokan dan permintaan. “Neraca komoditas memastikan data supply dan demand akurat sehingga potensi impor dapat ditekan,” kata Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin, Wiwik Pudjiastuti.
Investasi di sektor ini juga mulai bergerak. Proyek besar seperti PT Lotte Chemical Indonesia dan Petrokimia Gresik diharapkan beroperasi pada 2025, membantu mengurangi ketergantungan impor polypropylene (PP). Selain itu, pemerintah tengah mengajukan usulan pembebasan bea masuk bahan baku petrokimia dan memberikan berbagai insentif fiskal, seperti tax holiday dan tax allowance.
Baca Juga: Optimalisasi Pertumbuhan Industri Dalam Negeri, Kemenperin Akan Perketat Aturan Impor
Ahli Madya Bidang Hilirisasi Minyak dan Gas Bumi BKPM, Ikhsan Adhi Prabowo, menyebut industri petrokimia sebagai “ibu industri” yang perlu dilindungi. “Potensinya masih terbuka lebar, harus dimanfaatkan dengan kebijakan yang mendukung investasi,” ungkapnya.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga mengadopsi trade remedies, instrumen untuk mengendalikan impor barang yang dapat merugikan produsen lokal. “Trade remedies melindungi produsen domestik dari dampak negatif perdagangan bebas,” ujar Susila Brata, perwakilan Bea Cukai.
Industri petrokimia kini berada di persimpangan. Dengan dukungan regulasi yang kuat dan konsistensi implementasi kebijakan, sektor ini memiliki potensi besar untuk menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia sekaligus mengurangi ketergantungan pada produk impor.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement