Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ekonom: Kabinet Kerja Menjelma Jadi Kabinet Paranoid

Warta Ekonomi -

WE Online, Manado - Kabinet Kerja yang dibentuk untuk mendorong percepatan pembangunan ternyata disalahmaknai oleh sebagian pejabat kementerian. Akibatnya, Kabinet Kerja hendak menjelma menjadi Kabinet Paranoid. Hal itu diungkapkan oleh Ekonom Universitas Sam Ratulangi Manado Agus Tony Poputra dalam siaran persnya, di Manado, Senin (20/4/2015).

Menurut Agus, banyak menteri dan jajarannya ingin menunjukkan prestasi jangka pendek dengan menetapkan kebijakan "quick win" tanpa pertimbangan kepentingan jangka panjang, kepentingan masyarakat luas, maupun dampak positif/negatif terhadap kementerian yang lain. Hal itu, kata dia, terlihat dari hasil survei Poltracking menunjukkan bahwa 48,5 persen responden tidak puas dengan kinerja 6 bulan pertama pemerintahan Jokowi-JK.

"Pada dasarnya kebijakan "quick win" dapat berhasil jika para menteri telah memahami betul kondisi kementerian masing-masing," ujarnya.

Melalui pemahaman itu, lanjut Agus, kebijakan "quick win" dapat dijalankan tanpa hambatan berarti. Sebab, kebijakan "quick win" juga harus memiliki manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan mudaratnya.

Ia menuturkan, bila melihat komposisi Kabinet Kerja yang kebanyakan diisi oleh muka baru yang tidak terlalu terbiasa dengan birokrasi pemerintahan dan luasnya permasalahan yang ada, maka perlu tindakan-tindakan awal sebelum mengeluarkan kebijakan.

"Seperti melakukan konsolidasi ke dalam serta melakukan pemetaan terhadap permasalahan publik yang dihadapi dalam bidang penugasan mereka. Tindakan-tindakan awal ini kelihatan tidak dilaksanakan dengan baik dan cenderung terburu-buru mengeluarkan kebijakan yang dianggap dapat menunjukan kinerja walau akhirnya dinilai masyarakat lebih besar mudaratnya," papar Agus.

Kebijakan Kontraproduktif

Agus menyebutkan beberapa kebijakan pemerintah yang lebih besar mudarat daripada manfaatnya. Pertama, kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melarang alih muatan di tengah laut telah menimbulkan dampak negatif. Yaitu, mempersulit nelayan pada beberapa wilayah di Indonesia, menurunkan aktivitas pengolahan hasil perikanan, menurunkan ekspor dan pajak dari sub sektor perikanan, serta meningkatkan pengangguran dan dampak negatif lainnya.

"Hal ini tentu saja bukan kabar gembira bagi Kementerian lain, seperti Perindustrian, Perdagangan, dan Keuangan karena kinerja mereka terpengaruh secara negatif," ungkap Agus

Selain itu, ucap dia, penjualan ikan ilegal dan penyelundupan BBM di tengah laut yang menjadi dasar larangan tersebut sesungguhnya dapat diatasi lewat kebijakan pengawasan terhadap kapal-kapal penampung. Dan bukan justru melalui kebijakan pelarangan. Di samping itu, pemerintah seharusnya membuat kebijakan-kebijakan penyanggah untuk memperkuat nelayan domestik dalam rangka mengambil alih aktivitas nelayan asing.

Kedua, kebijakan BBM Subsidi Harga Mengambang yang dilakukan Kementerian ESDM kurang diterapkan secara konsisten dan transparan. Akibatnya upaya mengubah perilaku masyarakat untuk menerima fluktuasi harga BBM Subsidi sebagai sesuatu yang wajar menjadi kurang tercapai. Kembali BBM Subsidi cenderung menjadi komoditas politik ketimbang komoditas ekonomi.

Ketiga, kebijakan larangan bagi instansi pemerintah melakukan kegiatan di hotel yang dikeluarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara juga memberi dampak negatif yang luas. Bisnis perhotelan dan pariwisata yang selama ini banyak disokong oleh kegiatan pemerintah telah mengalami penurunan kinerja yang signifikan.

"Hal yang perlu disadari bahwa belanja pemerintah memiliki fungsi untuk memperkuat ekonomi. Oleh sebab itu, program penghematan yang keliru dapat menimbulkan efek negatif bagi perekonomian nasional. Seharusnya pemerintah membatasi besaran belanja untuk kegiatan di hotel, bukan melarang sama sekali. Walaupun kebijakan ini telah dibatalkan, namun bisnis perhotelan dan pariwisata serta tenaga kerjanya telah menjadi korban," terang Agus.

Keempat, lanjut Agus, usulan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional untuk membebaskan Pajak Bumi Bangunan (PBB) pada kelompok kurang mampu. Hal itu, kata dia, selain menabrak wewenang kementerian lain serta pemerintah daerah, juga seolah "menghukum kerja keras." Artinya, jika kebijakan tersebut dijalankan, maka pemerintah daerah akan mengalami penurunan penerimaan PBB. Untuk menutupnya, maka pemerintah daerah akan meningkatkan PBB untuk kelompok mampu. Hal ini membuat kelompok “mampu” lewat kerja keras merasa bahwa kerja keras mereka "dihukum" dengan pajak yang lebih berat. Akibatnya akan mereduksi kerja keras tersebut.

"Itu kan sama artinya memperlakukan masyarakat secara tidak adil," ketus Agus.

Soal Koordinasi

Agus menambahkan, beberapa kebijakan yang dikeluarkan kementerian teknis tampaknya kurang dikoordinasikan dengan kementerian yang lain. Ini terlihat bahwa kebijakan suatu kementerian tidak menciptakan sinergi malah dissinergi dengan kementerian lain.

Karena itu, jelas Agus, peran menteri koordinator dan Bappenas perlu diperbaiki. Setiap kebijakan suatu kementerian pasti akan memengaruhi kementerian lain, baik positif maupun negatif. Oleh sebab itu dibutuhkan koordinasi yang baik yang diakomodasi oleh Bappenas sebagai “dapur” perencanaan dan harmonisasi kebijakan serta Kementerian Koordinator.

Intinya, lanjut dia, setiap wacana kebijakan seharusnya digodok bersama sebelum dijadikan wacana publik sehingga tidak menjadi bola liar yang tidak menguntungkan pemerintah dan masyarakat. "Dengan koordinasi yang baik diharapkan kebijakan yang dihasilkan lebih komprehensif sehingga Kabinet Kerja betul-betul menjadi Kabinet Kerja, bukan Kabinet Paranoid," tandas Agus.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Achmad Fauzi
Editor: Achmad Fauzi

Advertisement

Bagikan Artikel: