Organda Nilai Terlalu Banyak Toleransi Diberikan Angkutan Aplikasi
Ketua DPP Organisasi Pengusaha Angkutan Nasional Bermotor di Jalan (Organda) Adrianto Djokosoetono menilai sudah terlalu banyak toleransi yang diberikan kepada angkutan berbasis aplikasi terkait penerapan undang-undang.
"Sudah terlalu banyak toleransi yang diberikan kepada mereka, kita minta 'equal treatment' perlakuan yang sama, artinya mengikuti peraturan yang berlaku," kata Adrianto dalam diskusi publik tentang angkutan sewa berbasis "online" atau daring di Kementerian Perhubungan, Jakarta, Kamis (11/8/2016).
Adrianto menilai dengan terbitnya Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Tidak Dalam Trayek diharapkan bisa mewujudkan perlakuan yang setara antarsesama pelaku bisnis, baik konvensional maupun aplikasi.
"Seharusnya PM 32 kalau betul-betul diterapkan bisa mewakili 'equal treatment' ini," ucapnya.
Dia mengatakan taksi konvensional juga memiliki aplikasi pemesanan, seperti apa yang diterapkan dalam angkutan aplikasi, seperti Uber dan Grab, tapi kendaraannya sesuai aturan, seperti diuji KIR, memiliki "pool" dan bengkel, pengemudi ber-SIM umum dan lainnya.
"Dari regulasi sudah jelas, kendaraannya sama, tetapi apabila tidak melewati itu semua (persyaratan), ini akan menganggu 'cost structure' (struktur biaya) taksi-taksi konvensional," paparnya.
Adrianto mempertanyakan apa yang memberatkan perusahaan taksi aplikasi untuk mengikuti peraturan, sementara ongkos uji KIR hanya Rp97.000 per enam bulan.
"Untuk pool juga perlu karena memang untuk mengurangi kebisingan dibandingkan kita taruh di garasi, serta untuk pemusatan pengolahan limbah," ujarnya.
Dia meminta pemerintah, terutama Kementerian Perhubungan serta Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk mengambil langkah tegas, agar menjadi acuan bagi pengoperasian kendaraan aplikasi di daerah.
"Di daerah itu mengacunya ke pusat, kalau di pusat tidak dibenahi, maka di daerah juga akan mengikuti," tukasnya.
Sementara itu, dari pihak Grab dan Uber mengaku keberatan dengan adanya peraturan yang mengharuskan STNK atas pribadi diubah ke atas nama perusahaan.
Head Of Communications Uber Indonesia Dian Safitri mengatakn bahwa bisnisnya berbasis berbagi tumpangan (ride sharing) yang dinilai tidak perlu adanya perubahan tersebut.
"Kita membawa mobil sendiri, kenapa harus atas nama perusahaan," ucapnya, mempertanyakan.
Hal senada disampaikan Legal Manager Uber Indonesia Teddy Trianto mengatakan seharusnya apabila diubah menjadi STNK perusahaan, pajak kendaraan bermotor (PKB) juga harus berubah mengikuti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 101 Tentang Dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
Teddy juga menilai pihaknya tetap mengikuti pada peraturan karena plat hitam juga diakui dalam UU LLAJ sebagai angkutan umum.
"Pelat hitam juga diakui oleh UU, jadi sebetulnya penerapan 'equal treatmen' sudah ada," katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto Iskandar menegaskan taksi aplikasi harus mengikuti peraturan yang berlaku, seperti yang diatur pada PM 32/2016.
"Kalau mau usaha, harus modal, harus mau berkorban, kalau mau sukses ya harus 'gentlemen'," tegasnya.
Pudji mengatakan pihaknya memberi waktu hingga Oktober mendatang kepada para pengusaha taksi daring untuk memenuhi persyaratan tersebut, di antaranya memiliki diuji KIR, berbadan hukum atau bekerja sama dengan badan hukum, contohnya koperasi, pengemudi memiliki SIM Umum, STNK atas nama perusahaan dan lainnya. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: