Organisasi masyarakat sipil Indonesia mempertanyakan komitmen Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (KemenATR/BPN) terkait keterbukaan informasi publik.
Pernyataan ini dikeluarkan paska-diterimanya pemberitahuan keberatan (banding) oleh KemenATR/BPN atas putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) yang menyatakan dokumen Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit yang dimohonkan Forest Watch Indonesia (FWI) sebagai informasi terbuka.
Surat Pemberitahuan dan Penyerahan Permohonan Keberatan yang dilayangkan oleh KemenATR/BPN kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta tertanggal 9 Agustus 2016 menandakan tidak ada kemauan terbuka untuk memberi ruang berpartisipasi bagi publik dalam pengawasan pembangunan di sektor perkebunan.
Padahal, pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan evaluasi terhadap kinerja perkebunan kelapa sawit melalui usulan kebijakan moratorium. Hal ini sejalan dengan upaya Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) yang diinisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyelesaikan penguasaan tanah masyarakat dalam kawasan hutan.
Adapun, dokumen HGU perkebunan kelapa sawit yang dimohonkan FWI untuk melakukan kajian terkait pemanfaatan lahan dan hutan.
Pengampanye FWI Linda Rosalina mengatakan pihaknya sangat menyayangkan sikap KemenATR/BPN yang melakukan banding kepada PTUN.
"Kami kesulitan melakukan verifikasi tanpa adanya dokumen sah (resmi) dari pemerintah. Padahal, kami menemukan adanya tumpang tindih perizinan yang menyebabkan kehancuran sumber daya hutan, konflik tenurial antara perusahaan dengan masyarakat, hingga terjadinya ancaman keberlanjutan hidup masyarakat adat dan lokal," katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu (20/8/2016).
Kejadian serupa terjadi juga di Kalimantan Timur, putusan Komisi Informasi Kaltim yang membuka dokumen HGU perkebunan pun ditolak oleh Kantor Wilayah (Kanwil) BPN.
Pengampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Ki Bagus Hadi Kusuma menerangkan bahwa setiap dokumen perizinan dan syarat perizinan adalah dokumen terbuka. Ia mengatakan dokumen HGU sebagai syarat perizinan sejatinya terbuka untuk publik.
"Apalagi, kenyataannya di lapangan banyak terjadi tumpang tindih antara HGU dan konsesi pertambangan. Bahkan, terdapat perusahaan sawit yang melakukan kegiatan pertambangan di wilayah HGU-nya," ujarnya.
Hal senada diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur Fathur Roziqin Fen mengatakan konflik di perkebunan kelapa sawit terjadi sejak proses perijinan yang tidak transparan. Ia mengatakan konflik terpanjang diakibatkan alih fungsi lahan pertanian produktif (sawah & ladang) menjadi perkebunan monokultur.
"Selain berdampak panjang terhadap ekosistem alam dan keberlanjutan pangan, tidak sedikit yang telah menjadi buruh di kampung sendiri. Dipaksa oleh izin yang diterbitkan tanpa pelibatan masyarakat secara partisipatif. Tren ini terus meluas di hampir satu juta ha konsesi perkebunan sawit yang existing di Provinsi Kalimantan Timur," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo