Ada gula ada semut, pepatah yang secara nyata tergambar dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan pabrik gula, tempat orang menggiling tebu untuk memeras nira dan mengolahnya menjadi gula kristal.
Dampak dan Agus adalah dua orang penebang tebu yang setiap musim giling mencari nafkah jauh dari kampungnya untuk mendapat penghasilan yang lebih besar dibanding menjadi buruh tani di dekat rumah.
Sudah empat tahun berturut-turut Agus, lajang yang belum genap 30 tahun itu meninggalkan rumahnya di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur untuk menjadi penebang tebu di Kabupaten Madiun.
Jarak dari kampungnya ke tempat kerja memang relatif dekat, kurang dari 100 kilometer, tetapi tetap saja membuat dia harus terpisah dari keluarga dan kerabatnya.
Walau diakuinya bahwa menjadi tukang tebang tebu bukan pekerjaan yang ringan, Agus mengatakan penghasilannya lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup, yaitu sekitar Rp100.000-Rp150.000 sehari.
Rekan kerjanya, Dampak, yang lebih senior dan sudah sepuluh tahun lebih menjadi penebang tebu, berasal dari Kabupaten Blora di pesisir utara Jawa Tengah.
Dampak berangkat bersama beberapa orang tetangganya dari Blora menuju Madiun setiap musim giling yaitu antara bulan Juli hingga Oktober.
"Saya sudah berpengalaman dan tahu apa yang harus dikerjakan," ujarnya sembari duduk beristirahat menanti batang-batang tebu yang diangkut traktor dari ladang untuk dinaikkan ke atas truk.
Hari ini pekerjaan Agus, Dampak, Darmin dan para penebang lain yang sedang bekerja di daerah Ngasinan, Kabupaten Ponorogo cukup berat karena ladang tebu yang mereka tebang terletak jauh dari jalan besar, bahkan melintasi anak sungai kecil.
Tebu-tebu yang sudah mereka potong harus dinaikkan traktor untuk mencapai bibir sungai dan dipindahkan dengan memanggulnya menyeberang sungai kemudian dinaikkan ke atas bak truk.
"Dalam sehari rata-rata kami memuat delapan sampai sembilan truk," kata Cecep, petugas yang mengawasi penebangan.
Sehari sebelumnya, turun hujan lebat dan traktor pengangkut tebu tidak bisa turun mendekati tepi sungai, maka para penebang mencari akal dengan memanfaatkan dua batang bambu yang mereka potong dari rumpun di tepi sungai, menjadi alat peluncur batang tebu dari atas tebing yang dicurahkan dengan traktor.
Tebu-tebu itu mereka angkut di atas bahu, rata-rata seorang penebang mengangkut puluhan batang dengan bobot sekitar 50 kg, menyeberangi sungai dengan air setinggi betis hingga sepaha orang dewasa lalu menaiki tangga menuju bak truk.
Tiba-tiba Darmin, seorang penebang dari desa setempat memungut kalajengking yang menempel pada salah satu batang tebu dan melemparnya jauh.
Bertemu kalajengking sudah biasa bagi mereka, bahkan tak jarang hewan berbisa itu menggigit kaki atau tangan mereka.
Bila ada penebang yang terkena gigitan kalajengking, sebagai penawarnya mereka akan mematahkan capit penyengat dan memakan badan kalajengking tersebut.
"Kalau sudah memakan itu badan tidak sakit," kata Darmin dengan menambahkan bahwa bila kalajengkingnya sudah lari dan tidak bisa ditemukan, mereka harus menanggung rasa sakit terkena bisanya.
"Nggih ndrodok, panas-adem (gemetar dan panas dingin)," katanya, bila tidak memakan badan kalajengking setelah tergigit.
Bukan saja kalajengking yang suka menempel di batang tebu, kadang-kadang mereka menemukan ular di antara tumpukan batang tebu yang harus mereka angkut.
Baik Agus, Dampak, dan Darmin maupun para penebang lain mengatakan pekerjaan sebagai penebang tebu memiliki tantangan yang berat.
Para pemula biasanya tidak akan tahan terkena "glugut" yaitu lapisan berbulu di pucuk batang tebu yang bisa menimbulkan rasa panas dan gatal apabila terkena kulit.
Orang baru ada yang sehari hingga empat hari saja sudah mundur dan pulang, kata Agus yang tubuhnya sudah kebal terkena glugut ataupun tergores.
Dalam satu hari seorang petani rata-rata menebang dan mengangkut sekitar 25 kuintal tebu yang dikerjakan bersama-sama secara berkelompok. Untuk pekerjaan tersebut mereka mendapat penghasilan sekitar Rp100.000.
"Kami bekerja dari pagi hingga petang, biasanya dijemput dengan truk menuju ladang tebu," kata Darmin.
Penebang yang berasal dari luar kota mendapat tempat mondok di rumah-rumah penduduk selain jatah makan tiga kali sehari dan rokok, sedangkan penebang lokal seperti Darmin tidak mendapat jatah makan.
Beruntung, istri yang dinikahinya sekitar 20 tahun selalu setia mengikuti hingga ke dekat ladang tempatnya bekerja untuk berjualan makanan dan minuman, sehingga Darmin bisa menumpang makan dan minum.
Rata-rata pada satu musim giling yang berlangsung antara 120-140 hari, memperoleh upah sekitar lima juta rupiah dengan sistem pembayaran per minggu.
"Uang 100 ribu rupiah sekarang untuk belanja tidak bisa penuh satu tas kresek beda dengan tahun 1990-an, Rp25.000 bisa untuk beli macam-macam," kata Darmin.
Orang penting "Penebang tebu menjadi orang-orang penting yang harus diperhatikan dan sedikit dimanja, karena jumlah mereka tidak banyak dan pekerjaan memotong batang tebu dibatasi oleh waktu," kata Djumono, SP, salah seorang sinder kebun di Pabrik Gula (PG) Pagotan, Madiun.
Para penebang adalah orang bebas. Mereka bisa memilih untuk bekerja di ladang mana saja, apakah lahan sewa yang dikelola pabrik gula ataupun lahan milik petani tebu rakyat.
"Kita harus pandai-pandai menjaga hubungan agar mereka betah karena sekarang para penebang lebih cepat mendapat informasi tempat kerja yang memberi fasilitas lebih baik hanya dengan ini" kata Djumono sambil menggerakkan telepon selularnya.
Menurutnya, selain perbedaan nilai upah yang ditawarkan, para penebang bisa pindah ke ladang lain bila makanan yang disediakan lebih enak dan banyak serta rokoknya lebih bermerek.
PG Pagotan, salah satu pabrik yang berada di bawah BUMN Perkebunan Tebu Nusantara (PTN) XI saat Ini memberikan upah tebang sebesar Rp6.000 per kuintal tebu.
"Persaingan untuk mendapat tenaga tebang sangat tinggi karena pekerjaan harus dilakukan hampir bersamaan waktunya sementara jumlah penebang tidak terlalu banyak bahkan harus dipanggil dari luar kota," kata Stefanus Drimahardhika,SP, Kepala Kebun Wilayah (sebutan baru untuk sinder), di PG Pagotan.
Bersikap kekeluargaan Menangani penebang harus dilakukan dengan cara yang penuh kekeluargaan agar mereka betah bekerja, kata Sumanto (37) seorang petani tebu rakyat yang memiliki lahan tanam seluas 50 hektare.
Sumanto menuturkan ia menyerahkan urusan konsumsi pada istrinya yang mempekerjakan beberapa orang untuk memasak bagi para tukang tebang.
"Selama ini saya tidak mempunyai masalah mengenai tenaga kerja untuk menanam, merawat ladang, dan memanen, karena saya berusaha memperlakukan mereka seperti keluarga," ujarnya.
Rasa kekeluargaan itu dibangun dengan menempatkan dirinya bukan sebagai seorang tuan, melainkan ikut bersama-sama dalam setiap proses pekerjaan.
"Saya ikut menanam juga menebang tebu," kata pria yang baru 10 tahun beralih menjadi petani tebu setelah sebelumnya menjadi pemilih lahan kebun jati di Desa Dolopo, Kecamatan Dolopo di Kabupaten Madiun itu.
Untuk satu musim tebang, Sumanto mempekerjakan sekitar 50 orang dan setiap minggu membayarkan upah sekitar Rp70 juta.
Sumanto mengaku menyukai pekerjaan sebagai petani tebu karena merasa bekerja setiap hari mulai dari menyiapkan lahan tanam, menanam, merawat tanaman, penebangan dan mengirim tebu ke pabrik, menyiapkan bibit dan siklusnya berulang terus.
Menanam jati tidak terlalu sibuk sehingga merasa tidak bekerja.
Bagi pabrik gula, pendampingan terhadap petani tebu harus terus menerus dilakukan untuk menghasilkan tanaman yang tumbuh subur dengan kadar gula yang tinggi.
"Ada kecenderungan petani memakai pupuk sebanyak-banyaknya agar tanaman tumbuh subur, padahal apabila kebanyakan pupuk tanaman akan tumbuh besar tetapi kadar gulanya kecil," kata Manager Quality Control PG Pagotan, Ninit Hartatik Kartika, SP.
Masa tebang juga harus ditentukan dengan tepat pada saat rendemen atau kadar gula di dalam tebu tinggi, karena apabila kurang masak atau kelebihan maka rendeman akan rendah, tegasnya.
Pihak perusahaan juga menyadari bahwa kadangkala petani tidak sabar menunggu giliran tebang sehingga beberapakali terjadi pembakaran ladang tebu agar hasil panen itu dapat digiling lebih cepat, walau kualitas tidak tinggi.
Dalam sesendok gula pasir yang manis dan berkilau bagaikan kristal, tersimpan kisah-kisah mereka. (Ant/Maria D Andriana)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: