Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Kota Tanjungpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, berpotensi mengembangkan gas metana sebagai energi alternatif, kata Kepala Bidang Energi Dinas Kelautan Perikanan, Pertanian, Kehutanan dan Energi (KP2KE) setempat, Zulhidayat.
"Perihal energi alternatif ini sudah kami kaji. Tanjungpinang memiliki potensi energi terbarukan dari sinar matahari, angin, aliran sungai, dan biogas metana dari sampah," kata Zulhidayat, Kamis?(17/11/2016).
Dari beberapa energi terbarukan yang dikaji di Tanjungpinang hanya gas metana yang mampu bertahan dan masih terus dikembangkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Ganet, katanya.
"Gas metana cenderung lebih berpotensi jadi energi alternatif di Tanjungpinang, karena selain volume sampah yang besar, energi ini sudah dialirkan ke rumah tangga sekitar TPA dengan jarak yang lumayan jauh," ucapnya.
Meski tergolong energi ramah lingkungan, tetapi pengembangan gas metana sampai seperti potensi energi sinar matahari, angin dan aliran sungai memiliki kendala yang sama, yaitu mahalnya biaya untuk mengoperasikan bila dibandingkan dengan energi dari PLN.
Selain itu, rasio elektrifikasi di Tanjungpinang sudah sekitar 97 persen di atas rata-rata nasional.
Pada 2007, Pemkot Tanjungpinang menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk penerangan permukiman masyarakat nelayan yang belum terjangkau jaringan listrik PLN.
"Seperti di Dompak Lama dan Kampung Bugis, daerah ini dibantu oleh pemkot berupa sel surya dengan kapasitas daya sekitar 200 watt kepada 100-200 rumah tangga," ujarnya.
Meski dengan daya energi hanya untuk penerangan, tetapi PLTS cukup bertahan lama. Ketika PLN mulai menjangkau daerah pesisir Tanjungpinang pada 2013, rumah tangga penerima PLTS mulai beralih ke listrik negara.
Menurut Zulhidayat, ada beberapa alasan sehingga sinar matahari ini tidak dijadikan sebagai energi alternatif untuk Tanjungpinang, di antaranya biaya yang sangat besar untuk pemanfaatan dalam jangka waktu lama dan pasokannya terbatas, meskipun dengan baterai penyimpanan arus.
Mengenai potensi energi angin, Zulhidayat menjelaskan bahwa Tanjungpinang memiliki kesamaan dengan daerah pesisir pada umumnya. Namun, kecepatan angin di Tanjungpinang berubah-ubah.
Seperti pada pagi dan sore hari, berdasarkan penelitian yang dilakukan KP2KE, kecepatan angin di Tanjungpinang rendah hanya sampai 5 meter per detik selama 10 jam, sedangkan pada malam sampai pagi hari relatif tinggi sampai pada 10 meter per detik selama 14 jam.
"Untuk jadi energi alternatif, kecepatan angin harus stabil dan terjadi secara terus menerus," katanya.
Sementara untuk energi dari aliran sungai, kajian yang sama menunjukkan aliran sungai di Tanjungpinang pelan dan debit kurang dari 10 liter per detik.
"Jadi energi alternatif dari aliran sungai di Tanjungpinang ini lebih cocok dikembangkan sebagai sumber air bersih bila dibandingkan sebagai pembangkit listrik," ucapnya. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: