Para petani kopi liberika di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, mulai mengganti tanaman ke kebun karet karena pemerintah lamban dalam mengatasi intrusi air laut.
"Udah banyak petani kopi yang mati di Meranti, kini telah pindah ke karet." ucap penampung kopi liberika, Romadoni di Selatpanjang, Meranti, Minggu (27/11/2016).
Ia menjelaskan, permasalah utama dihadapi para petani kopi setempat karena terjadinya abrasi, sehingga menyebabkan intrusi air laut sampai masuk ke kebun mereka.
Sebab air laut yang terasa asin telah menyebabkan matinya tanaman kopi jenis leberika karena memiliki kadar garam air bawah tanah semakin tinggi.
Masalah abrasi dan intrusi air laut telah menjadi ancaman serius bagi petani, tak cuma varietas kopi saja dalam 10 tahun terakhir.
Data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Meranti tahun 2014 menyebut, intrusi telah sebabkan matinya tanaman kopi seluas 135 hektare atau 11,5 persen dari luas total kebun di Desa Kedabu Rapat, Kecamatan Rangsang Pesisir.
"Genangan air sewaktu banjir, ditambah lagi air pasang laut terlalu tinggi, lahan kopi yang mati hampi 10 hektare per tahun di desa tempat saya mengumpul kopi hasil petani," katanya.
Romadoni tegaskan, petani kopi di Meranti sangat berharap perhatian pemerintah daerah untuk mencegah abrasi dan pembutan parit atau kanal, agar tanaman varietas tersebut tetap terjaga.
"Apabila tidak ada, maka kopi liberika Meranti akan punah dan cuma tinggal namanya saja," ucapnya.
Solehudin, petani kopi di Kecamatan Rangsang Barat menambahkan, liberika milik petani tumbuh subur, meski ditanam pada lahan gambut.
"Dalam sebulan, kami bisa kirim tiga hingga lima ton ke Malaysia. Itu, kalau musim panen raya. Pengiriman dalam bentuk green bean (biji kopi kering)," terangnya.
"Tapi masalahnya sekarang, luas kebun kopi terus menyusut akibat intrusi. Seperti tahun lalu, berkurang sekitar 200 hektare dari 700 hektare," terang Soleh.
Bambang Suprianto, sewaktu menjabat Kepala Badan Lingkungan Hidup Kepulauan Meranti di tahun 2011 mengatakan, masalah abrasi pernah mencuat karena daratan Pulau Topang berkurang menjadi 3.500 hektare dari sebelumnya 4.200 hektare akibat terkikis.
Pembabatan hutan bakau yang kemudian diolah menjadi kayu arang dengan tujuan ekspor seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand telah lama terjadi.
"Hutan bakau yang tadinya difungsikan menahan laju abrasi, perlahan mulai punah dan rusak akibat minimnya kesadaran warga sekitar untuk merawatnya," terangnya. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait: