Sekian lama memutar otak, negara sosialis itu akhirnya menerbitkan uang kertas baru sebagai tindakan praktis untuk mengatasi tingginya inflasi. Bank sentral mengatakan sirkulasi akan dilakukan pada 15 Desember, dan nilai uang mencapai 500 hingga 20.000 bolivars.
Saat ini, uang kertas tertingi adalah 100 bolivar atau senilai dengan dua sen dolar. Selama satu bulan terakhir, mata uang bolivars telah jatuh sebesar 60 persen terhadap dolar di pasar gelap.
?Ini akan membuat sistem pembayaran makin efesien, memfasilitasi transaksi komersial dan minimalisasi biaya produksi, penggantian dan transfer yang akan memberikan manfaat bagi perbankan, perdagangan dan masyarakat secara luas, kata bank sentral, seperti dikutip BBC di Jakarta, Senin (5/12/2016).
Pada Jumat pekan lalu, kartu kredit dan mesin atm tidak dapat berfungsi, tidak bisa melakukan transaksi bahkan penarikan tunai.
Presiden Venezuela, Nicolas Maduro mengklaim masalah ini disebabkan oleh seerangan cyber. Dia berpendapat, krisis ekonomi Venezuela didukung oleh Amerika Serikat.
Pemerintah menerbitkan angka infalasi pada Desember 2015 mencapai 180 persen, bahkan IMF perkirakan harga tahun depan bisa melonjak hingga lebih dari 2.ooo persen. Ekonomi Venezuela terpuruk akibat penurunan harga minyak dunia, sebagai pendapatan utama. Hal itu memicu kebijakan kontrol mata uang ketat sejak 2013.
Maduro adalah seorang mantan sopir bus dan pemimpin serikat buruh. Menurut oposisi Maduro harus bertanggung jawab atas krisis ekonomi di Venezuela. Negara kaya minyak tersebut menghadapi kekurangan pangan dan inflasinya meroket lebih dari 700 persen.
Impor roti Venezuela pada semester I-2016 anjlok sebesar 94 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Nilai impor roti tahun ini hanya sebesar US$216.000, sementara tahun lalu nilainya mencapai US$ 3,5 juta. Pengapalan daging yang masuk ke Venezuela turun 63 persen menjadi US$127 juta dibandingkan US$ 350 juta pada tahun lalu. Sedangkan impor buah-buahan, seperti pisang dan strawberry turun tajam sebesar 99 persen menjadi US$159.000 dari US$ 21 juta. Selain itu kiriman ikan yang masuk ke Venezuela turun 87 persen dan impor gula tercatat turun 34 persen.
Juli lalu, Maduro mengeluarkan sebuah dekrit yang memaksa warga bekerja di pertanian milik negara hingga 60 hari, dan mungkin lebih lama jika dibutuhkan. Meski tidak ada kasus kerja paksa, Amnesty International mengklaim dekrit tersebut sama saja dengan kerja paksa.
Meski dilanda krisis yang semakin parah, Venezuela menolak bantuan makanan dan bantuan kemanusiaan dari kelompok-kelompok seperti Amnesty International dan PBB. Pejabat Amnesty International menyatakan pemerintah Venezuela menolak bantuan karena akan membuat mereka terlihat tak mampu.
Menurut IMF, Venezuela merupakan negara dengan performa ekonomi terburuk tahun ini. Perekonomian negara ini diperkirakan turun 10 persen sementara inflasinya meroket lebih dari 700 persen.
Menanggapi krisis yang terjadi, Presiden Nicolas Maduro mengatakan bahwa solusi dari masalah saat ini adalah kendali langsung pemerintah terhadap distribusi pangan. Pemerintah memunculkan skema subsidi pangan yang akan didistribusikan langsung kepada rakyat miskin setiap tiga pekan.
Namun, kelompok oposisi mengatakan bahwa skema tersebut hanya akan menguntungkan bagi para pendukung pemerintah dan justru akan semakin menghidupkan pasar gelap.
Kesabaran rakyat berakhir setalah ketersediaan makanan mulai habis. Rakyat kelaparan, banyak yang mengaku hanya makan sehari sekali, bahkan banyak bayi yang hanya mengkonsumsi ASI. Sementara warga yang ingin membeli makanan harus mengantre hingga berjam-jam di luar toko.
Akhirnya, pada 2 Juni lalu, sekelompok pengunjuk rasa berusaha mendatangi istana presiden menuntut ketersediaan makanan. Tak seperti biasa, kali ini pengunjuk rasa datang dari permukiman kumuh di Caracas, bukan dari kalangan kelas menengah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Gregor Samsa
Editor: Rahmat Patutie
Tag Terkait: