Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Terkait TKA China, Menaker: Tidak Perlu Panik dan Khawatir

        Terkait TKA China, Menaker: Tidak Perlu Panik dan Khawatir Kredit Foto: Ferry Hidayat
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menegaskan isu terkait arus tenaga kerja asing (TKA) asal China yang masuk ke Indonesia tidak perlu dikhawatirkan oleh masyarakat. "Memang tidak perlu panik dan khawatir berlebihan, percayalah pada pemerintah yang memiliki skema pengendalian yang baik," kata Hanif dalam acara diskusi "SARA, Radikalisme, dan Prospek Ekonomi Indonesia 2017" di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Senin (23/1/2017).

        Skema pengendalian tersebut salah satunya melalui persyaratan menyangkut ketenagakerjaan asing yang diterapkan secara lengkap, misalnya terkait jabatan yang diduduki, pendidikan, dan kompetensi.
        "TKA, baik yang legal maupun ilegal, dari segi angka terkontrol, dan tentu saja seluruh investasi maupun pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah diperuntukkan bagi rakyat," ucap Hanif.

        Menurut Hanif, jumlah tenaga kerja asing legal pada 2011 mencapai 77 ribu orang dan pada November 2016 tercatat sekitar 74 ribu orang. Dia mengatakan isu TKA China muncul karena bersinggungan dengan persoalan SARA yang kemudian diolah secara hiperbolis. "Isu semacam ini jangan sampai dijadikan 'kompor' oleh sekelompok massa yang belum dapat melakukan mobilitas vertikal," ucap Hanif.

        Menaker mengatakan bahwa penyebab kemunculan isu terkait radikalisme dan SARA adalah ketimpangan dan kemiskinan, namun faktor tersebut bukanlah penentu tunggal. "Ketimpangan dan kemiskinan ini bukan faktor determinan, karena secara statistik di periode sebelumnya angka pengangguran lebih tinggi tetapi (isu SARA) tidak seberisik sekarang," ujar dia.

        Hanif berpendapat pengarusutamaan pemikiran keagamaan yang toleran menjadi penting untuk mengatasi politisasi isu radikalisme dan SARA, sekaligus pula mendorong peran dan komitmen kelompok moderat yang selama ini menjadi "silent majority". (Ant)

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Sucipto

        Bagikan Artikel: