Peningkatan jumlah masyarakat pengguna telepon seluler membuat penetrasi internet di Indonesia tumbuh pesat sehingga menguntungkan industri jasa keuangan digital.
Pada 2008, investasi di industri rintisan layanan keuangan berbasis teknologi (fintech) di Indonesia masih sekitar 900 juta dolar AS kemudian pada 2013 meningkat menjadi 3 miliar dolar AS.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperkirakan investasi tersebut akan menembus angka 8 miliar dolar AS atau sekitar Rp105,6 triliun pada 2018.
Dengan potensi besar bagi perusahaan rintisan fintech di Indonesia, sekarang ini telah bermunculan banyak pelaku di industri keuangan yang tertarik mendirikan usaha digital tersebut, terutama fintech yang bergerak di ranah pinjam-meminjam atau peer-to-peer lending (P2P).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator akan mengoptimalkan pemanfaatan model pembiayaan melalui fintech karena dianggap mampu mengisi ruang yang selama ini belum tersentuh oleh lembaga keuangan formal.
"Keberadaan fintech ini akan melengkapi kebutuhan pembiayaan bagi perusahaan rintisan atau start-up sebagai komplemen dari upaya OJK untuk merevitalisasi perusahaan modal ventura," kata Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad, beberapa waktu lalu.
OJK pada akhir 2016 menerbitkan Peraturan Nomor 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) untuk menjamin adanya kualifikasi perusahaan rintisan fintech dalam ranah pinjam-meminjam.
"Kalau sudah wajibkan pendaftaran, maka semua perusahaan rintisan fintech akan mempunyai kualifikasi yang bagus dan penyelenggaraannya tidak sekadarnya saja," kata Deputi Komisioner Manajemen Strategis IA OJK, Imansyah.
Pasal 7 Peraturan OJK Nomor 77/2016 menyebutkan bahwa penyelenggara perusahaan rintisan fintech pinjam-meminjam wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK.
Pelaku perusahaan rintisan fintech pinjam-meminjam yang terkualifikasi dan bukan abal-abal perlu diwujudkan agar dapat memberikan kepastian stabilitas keuangan, mewujudkan pengamanan data pengguna, dan menjamin perlindungan konsumen.
Pihaknya saat ini tengah berupaya menciptakan basis data perusahaan rintisan fintech berbasis pinjam meminjam di Indonesia melalui POJK 77/2016 tersebut.
Dia mengatakan bahwa penyelenggara yang telah menjalankan bisnis sebelum POJK 77/2016 diundangkan, mengajukan permohonan pendaftaran paling lambat enam bulan setelah 29 Desember 2016.
Setelah pendaftaran, akan diberikan alokasi maksimal satu tahun untuk perizinan. Modal penyelenggara akan naik menjadi Rp2,5 miliar setelah mendapatkan perizinan dan hal tersebut kemudian menjadi domain pengawasan oleh OJK.
Secara khusus, POJK 77/2016 juga mengatur mengenai batas maksimal pemberian pinjaman dana, yaitu Rp2 miliar per debitur per perusahaan fintech. Batas maksimal tersebut dapat ditinjau ke depannya. "Perusahaan fintech tidak boleh memberi pinjaman. Yang boleh hanya investornya," ujar Imansyah.
Selain itu, POJK 77/2016 antara lain berisi ketentuan untuk meminimalisasi risiko kredit dan perlindungan kepentingan pengguna, seperti penyalahgunaan dana dan data nasabah.
Peraturan tersebut juga mengatur mengenai perlindungan kepentingan nasional, seperti kegiatan antipencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU-PPT) serta gangguan pada stabilitas sistem keuangan.
"Proses layanan pinjam meminjam ada empat tahap sehingga rasa-rasanya tindakan pencucian uang dan pendanaan terorisme akan tertangkap melalui empat tahap ini," kata Peneliti Eksekutif Senior Tim Pengembangan Sektor Jasa Keuangan OJK, Hendrikus Passagi. (Ant/Calvin Basuki) BERSAMBUNG
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: