Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Wamen ESDM Beberkan Lesunya Industri Hulu Minyak

        Wamen ESDM Beberkan Lesunya Industri Hulu Minyak Kredit Foto: Muhamad Ihsan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Archandra Tahar membeberkan beberapa penyebab lesunya industri hulu minyak dan gas bumi di Indonesia.

        "Lesunya industri hulu migas di Indonesia dimulai pada periode tahun 2011 sampai pada 2013, padahal pada saat itu harga minyak mentah dunia sedang tinggi-tingginya," kata Archandra ketika mengisi kuliah tamu di Universitas Trisakti Jakarta, Jumat (17/3/2017).

        Dengan tegas Archandra menyebutkan bahwa salah satu pembuat lesu industri hulu pada saat itu adanya PP Nomor 79 Tahun 2010. "Selain pembubaran BP Migas menjadi SKK Migas, PP tersebut salah satu dampak terkuat menjadi malasnya investor ke Indonesia," katanya.

        Beberapa hal yang dikeluhkan investor dari PP Nomor 79 Tahun 2010 adalah baru masuk ke Indonesia saja sudah terkena pajak. Belum lagi ketika eksplorasi tingkat keberhasilan masih kecil, namun biaya operasi dan pajak sudah membebani investor.

        Menurut Archandra hal tersebut yang membuat investor menjadi malas. Oleh karena itu PP tersebut perlu direvisi. "Ketika PP sudah selesai revisi apakah bisa menjamin produksi hulu bisa langsung meningkat, tidak juga. Karena industri migas adalah bisnis yang penuh dengan ketidakpastian sebab tidak bisa menentukan harga minyak," katanya.

        Namun, setidaknya dengan adanya revisi tersebut harapan kepastian semakin naik sehingga bisa memunculkan banyak potensi.

        Penghambat lainnya, kata dia, adalah sistem kontrak yang dinilai kurang menarik dan tidak pasti. Administrasi yang lambat salah satu penyebab lesunya industri hulu migas, bahkan memerlukan waktu sekitar 15 tahun hingga proses selesai, padahal di negara lain tidak lebih dari lima tahun.

        Ia mengharapkan dengan adanya skema kontrak "gross split" yang ditawarkan mampu membuat industri hulu lebih efisien.

        Saat ini keuntungan negara atas pembagian terbesar dari semua industri hulu yang ada hanya 60 persen, dan untuk keuntungan batas bawah dari pembagian sharing cost adalah 30 persen.

        "Biar bagaimanapun semua negosiasi besaran juga tergantung dari medan lapangan pengeboran, biasanya jika ditengah laut akan semakin mahal biaya produksinya," tuturnya.

        Pokok-pokok perubahan PP Nomor 79 Tahun 2010 adalah pertama perpajakan dan biaya operasi yang terdiri atas pemberlakuan insentif kegiatan usaha hulu migas, penegasan pemberlakuan prinsip blok basis, perubahan terhadap biaya-biaya yang tidak dapat dikembalikan dan biaya-biaya yang dapat dikembalikan serta mengedepankan ketentuan kontrak kerja sama (KKS) sebagai dasar dalam penyelesaian perhitungan perpajakan kegiatan usaha hulu migas.

        Kedua, terkait investasi, yaitu pengaturan insentif pada kegiatan usaha hulu migas yang tidak terbatas pada investment credit saja, namun dapat meliputi antara lain imbalan DMO fee, depresiasi dipercepat, dan tax holiday.

        Ketiga, mengenai kepastian hukum yaitu penegasan ketentuan-ketentuan pada KKS yang telah ditandatangani sebelum berlakunya rancangan perubahan PP Nomor 79 Tahun 2010 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak tersebut. (Ant)

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: