Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Wah, Kenaikan Harga Rokok Diusulkan Hingga 270 Persen

        Wah, Kenaikan Harga Rokok Diusulkan Hingga 270 Persen Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Universitas Indonesia Prof Budi Hidayat mengatakan kenaikan harga rokok yang ideal di Indonesia berada pada rentang 150 persen hingga 270 persen.

        "Angka itu diperoleh setelah mempertimbangkan pola konsumsi rokok, pendapatan negara dari cukai rokok, pendapatan industri serta angka kemiskinan," kata Budi saat memaparkan penelitiannya di Jakarta, Kamis (13/4/2017).

        Angka yang diusulkan Budi itu jauh bertolak belakang dengan kenaikan harga rokok yang diberlakukan pemerintah melalui pengenaan cukai.

        Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147 Tahun 2016 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, kenaikan harga rokok pada 2016 hanya rata-rata 10,54 persen.

        Selain itu, angka kenaikan harga rokok yang diberlakukan pemerintah pada 2012 hingga 2016 masih jauh dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

        "Undang-Undang Cukai mengamanatkan tarif cukai sebesar 57 persen dari harga jual eceran. Rata-rata kenaikan cukai tahunan yang diatur hanya 43 persen dari harga jual eceran atau berkisar 44,4 persen hingga 51,4 persen," tuturnya.

        PKEKK UI merilis hasil penelitian bertajuk "Harga Rokok Ideal" sebagai bentuk keprihatinan terhadap perdebatan yang masih terjadi antara kepentingan industri rokok, pengambil kebijakan dan masyarakat pendukung pengendalian tembakau.

        Penelitian tersebut mencoba memberikan kontribusi pada perdebatan mengenai wacana penerapan cukai yang tinggi terhadap hasil tembakau. PKEKK menilai selama ini wacana penerapan cukai rokok tinggi masih dipandang negatif tanpa didukung fakta yang berbasis bukti dan data. (Ant)

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Sucipto

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: