Per tanggal 30 Juni 2017 gerai ritel modern 7-Eleven milik PT Modern Internasional Tbk (MDRN) resmi ditutup. Hal tersebut menyiratkan sejumlah tanya tentang apa yang membuat gerai yang di negeri asalnya, Amerika Serikat, tersebut laris manis tetapi di Indonesia malah kalah bersaing dengan kompetitor lain dan akhirnya berhenti beroperasi.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati mengatakan tutupnya jaringan ritel modern 7-Eleven dipicu oleh kondisi pasar yang sudah mengalami kejenuhan. Betapa tidak, setiap tahunnya terjadi pertumbuhan 15% di industri ritel modern. Hal tersebut, dikatakan Enny, diperparah dengan tidak tegaknya peraturan terkait dengan zonasi pendirian outlet.
"Kurang dari 100 meter sudah ada outlet ritel lainnya, ada juga yang berhadapan," katanya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (6/7/2017).
Pertumbuhan gerai yang "liar" tersebut membuat kanibalisme pasar semakin subur. Same sales store growth?(SSSG) atau pertumbuhan penjualan di gerai yang sama pun ikut tersungkur ke level yang lebih rendah. Namun di sisi lain, berhentinya operasionalisasi gerai 7-Eleven juga bakal mengurangi kejenuhan pasar. Enny menjelaskan dengan adanya hal tersebut kompetisi di antara jaringan gerai ritel modern justru akan melebar.
Apalagi peritel lainnya memiliki model bisnis yang jauh lebih efisien dibanding 7-Eleven yang harus menyiapkan modal yang cukup besar untuk sewa lahan dan juga biaya pegawai.
"Seperti Alfamart dan Indomaret mungkin ada konsinyasinya, lalu ada diskon-diskon yang diberikan. Jadi lebih menarik," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Gito Adiputro Wiratno
Editor: Cahyo Prayogo