Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        BI: Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Hanya Sementara

        BI: Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Hanya Sementara Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo menilai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi belakangan ini hanyalah sementara karena pengaruh dari kondisi eksternal, terutama kenaikan Fed Fund Rate (FFR) yang sudah diantisipasi oleh pasar.

        Data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI mencatat laju nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS sempat mengalami tekanan yang dalam. Pada 3 Oktober 2017, nilai tukar rupiah berada pada angka Rp13,582 per dolar AS, sebelum akhirnya turun menjadi Rp13,483 per dolar AS pada 5 Oktober 3017.

        "Kita tentunya masih berharap pengaruhnya cuma sementara karena dari sisi kejelasan dari Amerika sendiri sudah hampir mendekati pasti. Artinya kalo kita mengacu ke Fed Fund Rate maka menuju pada kenaikan satu kali lagi di Desember, kemudian penurunan daripada balance sheet Fed akan terjadi di Oktober. Artinya kalkulasi itu sudah dipastikan oleh pasar," kata Dody.

        Dalam RAPBN 2018, asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di level Rp13.400 per dolar AS. Dody menuturkan, asumsi tersebut masih sejalan dengan kisaran nilai tukar rupiah yang disampaikan BI yaitu Rp13.400-Rp13.700 per dolar AS.

        "Asumsi tersebut bisa dicapai atau tidak itu tergantung bagaimana kemampuan kita mengelola eksternal kita, selama kita positif dan bisa ekspor di tahun depan juga positif. Kemudian sepanjang kita masih melihat angka FDI kita besar, seharusnya tidak akan ada isu untuk ekonomi atau Rupiah kita melemah," tandasnya.

        Oleh karena itu, BI meyakini bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$) akan kembali menguat. Pasalnya, selisih suku bunga (interest rate differential) antara negara maju dan negara berkembang seperti Indonesia masih besar, sehingga Indonesia masih cukup menarik untuk investasi.

        Dody mengungkapkan, dengan besarnya interest rate differential tersebut maka menempatkan modal di negara berkembang seperti Indonesia masih sangat atraktif. Hal ini berarti, fundamental ekonomi di Tanah Air cukup baik untuk mencegah gempuran mata uang Paman Sam.

        "Itu yang harusnya menjadikan kita cukup optimis. Artinya, secara fundamental tidak ada isu atau pelemahan," tutupnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajar Sulaiman
        Editor: Rizka Kasila Ariyanthi

        Bagikan Artikel: