Karet adalah komoditas kompetensi inti di Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, karena keberadaannya yang sangat luas, namun sayangnya harga jual karet kotor di tingkat petani dalam setahun terakhir anjlok ke level terendah.
Kondisi tersebut membuat masyarakat petani mayoritas di pedalaman, sudah tidak bergairah dan menelantarkan kabun karet, tidak sedikit petani beralih profesi menjadi kuli bangunan, bahkan memilih nganggur daripada membuang tenaga menderes karet.
Sebagaimana dirasakan oleh masyarakat, terutama dari kalangan muda usia produktif di Desa Baro, Kecamatan Panton Reu, Aceh Barat, pada saat harga karet ditampung pengusaha lokal seharga Rp5.500/kg, petani karet memilih jadi kuli bangunan.
Getah karet mentah hasil deresan petani sebelum dijual ke penampung, juga dibersihkan dan dikeringkan, namun tetap saja harga tampung pengusaha lokal sama, karena kebutuhan pasar dunia terhadap bahan baku karet semakin rendah.
Masyarakat pedalaman yang mayoritas adalah petani karet, bersyukur karena saat ini banyak proyek di gampong-gampong sedang berjalan terutama adalah proyek pembangunan melalui Anggaran Dana Desa (ADD) yang dikucurkan pemerintah pusat.
"Daripada tidak ada kerjaan lain, kuli bangunan bisa dapat gaji Rp70.000/hari. Kami sebenarnya tidak ingin beralih karena karet adalah satu-satunya sumber perekonomian masyarakat sejak dahulu," tutur Zamhuri, pemuda desa setempat.
Tidak hanya berdampak pada masyarakat petani, akibat anjloknya harga karet di pasar Medan Sumatera Utara membuat penampung lokal di kawasan itu kesulitan mendapat pasokan sehingga harus menghentikan pengiriman ke pasar Medan secara rutin.
Tercatat sepanjang 2017, harga tampung getah karet di daerah itu, belum pernah bertahan Rp7.500/kg, padahal ketika penjualan sampai ke pasar Medan Sumatera Utara, harga tampung karet basah (50 persen bersih) paling rendah Rp25.000/kg-Rp35.000/kg.
Dari luasan 24.385 hektare kebun karet di Aceh Barat tercatat ada 9.000 hektare karet rakyat yang sudah tidak produktif, sudah jadi semak belukar karena tidak dideres, tidak sedikit pula ribuan hektare kebun karet sudah dialih fungsi menjadi kebun sawit.
Untuk mengembalikan kondisi harga karet memihak ke petani, Pemkab Aceh Barat saat ini memiliki terobosan berupa peremajaan secara besar-besaran kebun karet, dengan cara mendatangkan investor dari luar untuk mengelola kayu batang karet.
Bupati Aceh Barat, H Ramli, MS sudah menyampaikan, sudah ada pengusaha bergerak dibidang pengolahan kayu karet akan memulai pembangunan pabrik pengolah bahan baku kayu karet untuk kemudian diekspor ke luar negeri.
Melalui program peremajaan kebun karet, kemudian batang karet yang sudah tidak produktif ditebang dan dijual pula, sehingga kayu-kayu itu tidak terbuang percuma dan lebih menguntungkan lagi ada pabrik yang siap menampung tenaga kerja 3.000 orang.
"Kita mendapat bantuan dari Belanda bahwa akan ada 43 ribu hektare untuk mereka remajakan karet masyarakat yang sudah kadaluarsa itu, kayunya ditampung mereka, kemudian diolah untuk diekspor ke Jepang dan China," katanya.
Investor asal Belanda bergerak di bidang pengolahan kayu karet mentah akan memulai pembangunan pabrik kayu dengan nama perusahaan PT Woyla, usaha tersebut masih dalam proses pengurusan izin dari pemda setempat.
Program jangka panjang tersebut, setelah melihat dari kajian ekonomi negara tentangga yakni Malaysia, dengan perkebunan karet rakyatnya bisa hidup mandiri secara ekonomi dengan kepemilikan kebun pribadi maupun bekerja pada kebun perusahaan.
Hal tersebut tentunya membutuhkan pengelolaan yang baik, pohon karet bukan hanya ditanam dan dibiarkan tumbuh begitu saja, sebagaimana kondisi saat ini di Aceh Barat, kecenderungan itu akibat harga tampung yang fluktuasi.
Telah ada satu perusahaan PT Potensi Bumi Sakti, yang bergerak disektor pengolahan bahan baku mentah setengah jadi, bahkan hingga pembelian dalam bentuk pasar lelang karet, namun belum terlihat adanya perubahan signifikan harga karet memihak ke petani. Sebagai perbandingan, pada 2013 harga beli getah karet petani tembus Rp20.000-Rp23.000/kg, akan tetapi hanya sesaat, kemudian harga jatuh hingga 2017 ini, tidak ada yang bisa menolong sehingga bertahan di level terendah sepanjang sejarah.
Ekonomi Alternatif
Upaya percepatan ekonomi sebagai salah satu program Rencama Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), tentunya tidak sebatas pada karet, harus ada usaha alternatif lain serta sarana infrastruktur sebagai penundukung.
Pembangunan jalan lingkar tembus 12 kecamatan sudah digagas untuk memperkuat basis sarana transportasi jalur darat, demikian halnya pengembangan perkebunan pinang rakyat, saat ini menjadi perhatian serius pemda setempat.
Dinas Perkebunan dan Peternakan (Disbunak) mencatat, adanya alokasi dana pemda senilai Rp4 miliar untuk tahap pertama, pengadaan bibit dan penanaman kebun pinang rakyat akan dimulai pada awal 2018 tersebar di 12 kecamatan.
"Kebun pinang rakyat ini akan menggunakan bibit unggul yang lebih dikenal nama pinang betara unggul. Rencananya bantuan yang diberikan berupa bibit hinggga prasarana lain sebagai pendukung kegiatan perkebunan tersebut,"kata Kadisbunak, Said Mahjali.
Pengembangan perkebunan pinang rakyat diyakini bisa mendongkrak perekonomian masyarakat perdesaan, mengingat komoditas pinang dinilai paling tepat sebagai alternatif menyelamatkan ekonomi masyarakat ketika harga karet dan sawit anjlok di tingkat petani.
Hasil peninjauan Bupati Ramli, MS ke Provinsi Jambi, didapati perhitungan keuntungan besar dari komoditas pinang, dari pengelolaan 10 hektare bisa mendapatkan Rp18 juta per bulan, kemudian masa panen pinang hanya kurun waktu tiga tahun.
Pascakonflik dan tsunami Aceh, pemerintah harus memberikan injeksi dan perhatian yang besar terhadap stamina ekonomi rakyat yang benar-benar sistematis, sehingga sifatnya kontemporer dan harus berkelanjutan.
"Karena itu, saya berpikir program kebun pinang rakyat ini akan sangat tepat, sehingga kalau sawit dan karet anjlok, ada alternatif pinang. Apalagi sudah banyak investor nasional berinvestasi di Aceh Barat dan terbuka lapangan kerja,"sebut Ramli, MS.
Dalam pendistribusian bantuan tersebut nantinya, sesuai petunjuk tetap mengacu sesuai aturan, yakni berdasarkan pengajuan dan ketersediaan lahan, melalui kelompok tani yang sudah aktif maupun kelompok tani yang dibentuk.
Salah satu persyaratan kelompok tani yaitu memiliki anggota 15-20 orang, kemudian disahkan oleh penyuluh dan balai penyuluh kecamatan, yang kemudian diberikan Surat Keputusan (SK) oleh Bupati Aceh Barat.
Pemkab menargetkan, pembangunan kebun pinang rakyat tersebut tersebar dalam 12 kecamatan, tidak berfokus pada satu kawasan, sembari melihat kawasan potensial untuk dijadikan sentra produksi komoditi pinang rakyat di daerah berjuluk Bumi Teuku Umar, itu.
"Pinang ini sudah ada yang kembangkan, ternyata sangat membantu petani, produksi tinggi dan sangat menguntungkan, apalagi harga jualnya sangat menjanjikn. Teknisnya ke depan akan disusun, tentunya setelah anggaran disahkan,"imbuh Said.
Krisis ekonomi masyarakat buruh tani di Aceh Barat, khususnya dalam sektor perkebunan karet, berharap pemerintah segera mengatasi kondisi harga karet sebelum masyarakat menelantarkan semua kebun produktif menjadi semak belukar.
Ada satu perusahaan yang sedang membangun pabrik pengolah bahan baku karet (cram rubber) dan pasar lelang karet segera dapat dimanfaatkan untuk memutuskan panjangnya mata rantai penjualan yang membuat harga karet fluktuasi.
"Harapannya pabrik pengolah dan pasar lelang penampung karet segera beroperasi. Kalau maunya kami pemerintahlah yang memegang peranan harga karet, jangan sampai naik turun tidak menentu karena mengikuti harga karet dunia di pasar Medan,"harapan Samsul, buruh deres getah karet di Kecamatan Woyla.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo