Advokat Fredrich Yunadi bersama dengan dokter dari Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo didakwa bekerja sama untuk menghindarkan ketua DPR Setya Novanto untuk diperiksa dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi KTP-Elektronik.
"Terdakwa Fredrich Yunadi bersama dr. Bimanesh Sutarjo melakukan rekayasa agar Setya Novanto dirawat inap di Rumah Sakit Medika Permata Hijau dalam rangka menghindari pemeriksaan penyidikan oleh penyidik KPK terhadap Setya Novanto sebagai tersangka perkara tindak pidana korupsi pengadaan KTP Elektronik (e-KTP)," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Fitroh Rohcahyanto dalam sidang pembacaan dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (8/2/2018).
Fredrich sebagai pengacara dari kantor advokat Yunadi & Associates menawarkan diri untuk membantu mengurus permasalahan hukum yang dihadapi oleh Setya Novanto karena sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-E 2011-2012 berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik-113/01/10/2017 per 31 Oktober 2017.
"Terdakwa memberikan saran agar Setya Novanto tidak perlu datang memenuhi panggilan penyidik KPK dengan alasan untuk proses pemanggilan terhadap anggota DPR harus ada izin dari Presiden. Selain itu, untuk menghindari pemanggilan tersebut, terdakwa akan melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi sehingga Setya Novanto menyetujui terdakwa sebagai kuasa hukumnya sebagaimana surat kuasa tertanggal 13 November 2017," tambah jaksa Fitroh.
Pada 14 November 2017, Fredrich mengatasnamakan kuasa hukum dari Setya Novanto mengirimkan surat kepada Direktur Penyidikan KPK yang intinya Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan dari penyidik KPK dengan alasan masih menunggu putusan uji materi MK yang telah diajukan, padahal Fredrich baru mendaftarkan permohonan tersebut pada hari itu.
Pada 15 November 2017, Novanto tidak datang memenuhi panggilan penyidik KPK untuk diperiksa sebagai tersangka sehingga sekitar pukul 22.00 WIB penyidik KPK melakukan upaya penangkapan dan penggeledahan di rumah Setnov yang beralamat di Jalan Wijaya XIII Nomor 19 RT.003/RW.003 Kebayoran Baru, Jakarta SeIatan.
Saat itu, penyidik KPK tidak menemukan keberadaan Novanto, tetapi bertemu dengan Fredrich yang menanyakan surat tugas, surat perintah penggeledahan dan surat penangkapan Novanto.
"Setelah penyidik KPK memperlihatkan surat-surat yang dimaksud, tetapi terdakwa tidak bisa memperlihatkannya sehingga terdakwa lalu meminta kepada Deisty Astriani (istri Novanto) untuk menandatangani Surat Kuasa atas nama keluarga Setnov yang baru dibuat terdakwa dengan tulisan tangannya," ungkap jaksa.
Saat ditanya keberadaan Novanto, Fredrich juga mengaku tidak mengetahui padahal sebelumnya ia menemui Novanto di gedung DPR dan saat penyidik KPK datang, Novanto sudah lebih dulu pergi dari rumah bersama Azis Samual dan Reza Pahlevi (ajudan Novanto) menuju Bogor dan menginap di Hotel Sentul sambil memantau perkembangan situasi melalui televisi. Keesokan harinya, Setnov kembali lagi ke Jakarta menuju gedung DPR.
Pada 16 November 2017, sekitar pukul 11.00 WIB, Fredrich menghubungi dr. Bimanesh Sutarjo yang sebelumnya telah dikenal untuk meminta bantuan agar Setnov dapat dirawat inap di RS Medika Permata Hijau dengan diagnosis menderita beberapa penyakit, salah satunya adalah hipertensi.
Dalam rangka menegaskan permintaan itu, Fredrich sekitar pukul 14.00 WIB datang menemui dr. Bimanesh Sutarjo di kediamannya di Apartemen Botanica Tower 3/3A Jalan Teuku Nyak Arief Nomor 8 Simprug, Jakarta Selatan memastikan agar Setnov dirawat inap di RS Medika Permata Hijau.
"Terdakwa juga memberlkan foto data rekam medik Setnov di RS Premier Jatinegara yang difoto terdakwa beberapa hari sebelumnya padahal tidak ada surat rujukan dari RS Premier Jatinegara untuk dilakukan rawat inap terhadap Novanto di rumah sakit lain," tambah jaksa Kresno Anto Wibowo.
Bimanesh Sutarjo pun menyanggupi meski tahu Novanto sedang berkasus di KPK lalu menghubungi dr. Alia yang saat itu menjabat sebagai Plt. Manajer Pelayanan Medik RS Medika Permata Hijau melalui telepon agar disiapkan ruang VIP rawat inap atas nama Novanto yang direncanakan akan masuk rumah sakit dengan diagnosis penyakit hipertensi berat, padahal dr. Bimanesh Sutarjo belum pernah melakukan pemeriksaan fisik terhadap Novanto.
Selain itu, dr. Bimanesh Sutarjo juga menyampaikan kepada dr. Alia bahwa dirinya sudah menghubungi dokter lainnya, yakni dr. Mohammad Toyibi dan dr. Joko Sanyoto untuk melakukan perawatan bersama terhadap pasien bemama Novanto, padahal kedua dokter tersebut tidak pernah diberitahukan oleh dr. Bimanesh Sutarjo.
Permintaan ditindaklanjuti dr. Alia yang menghubungi Direktur RS Medika Permata Hijau, dr. Hafil Budianto Abdulgani, guna meminta persetujuan rawat inap untuk Novanto, tetapi dr. Hafil mengatakan agar tetap sesuai prosedur yang ada, yaitu melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD) terlebih dahulu untuk dievaluasi dan baru nanti bisa dirujuk ke dokter spesialis oleh dokter yang bertugas di IGD.
Permintaan dr. Bimanesh itu juga disampaikan dr. Alia kepada dr. Michael Chia Cahaya yang saat itu bertugas sebagai dokter jaga di IGD bahwa akan masuk pasien dari dr Bimanesh Sutarjo bernama Setnov dengan diagnosis panyaklt hipertensi berat.
Sekitar pukul 17.00 WIB, Fredrich memerintahkan stafnya dari kantor advokat bernama Achmad Rudiansyah untuk manghubungi dr. Alia untuk mengecek kamar VIP di RS Medika Permata Hijau dan pada sekitar pukul 17.45 WIB Rudiansyah dan dr. Alia Shahab malakukan pengecakan kamar VIP 323 yang sudah dipesan untuk Setnov.
"Pada sekitar pukul 17.30 WIB, terdakwa juga datang ke RS Modika Parmata Hijau menemui dr. Michael di ruang IGD meminta dibuatkan surat pangantar rawat inap atas nama Setnov dengan diagnosis kacelakaan mobil, padahal saat itu Novanto sedang barada di Gedung DPR RI barsama dangan Reza Pahlevi dan Muhammad Hikman Mattauch (wartawan Metro TV). Atas permintaan tarsebut, dr. Michael menolak," jelas jaksa.
Penyebabnya adalah karena untuk mengeluarkan surat pangantar rawat inap dari IGD harus dilakukan pameriksaan dahulu terhadap pasien. Fredrich lalu menemui dr. Alia dan meminta agar alasan masuk rawat inap Novanto yang semula adalah diagnosis penyakit hipertensi diubah dengan diagnosis kecelakaan.
Pada sekitar pukuI 18.30 WIB, dr. Bimanesh datang ke RS Madika Pannata Hijau menemui dr. Michael menanyakan keberadaan Novanto di ruang IGD yang dijawab bahwa Novanto belum datang dan hanya Fredrich selaku pangacara Novanto yang datang meminta surat pangantar rawat Inap dari IGD dengan keterangan kecelakaan mobil, tetapi ditolak dr Michael karana belum memeriksa Novanto.
Atas penolakan tarsebut, dr. Bimanesh membuat surat pangantar rawat inap menggunakan form surat pasian baru IGD padahal dirinya bukan dokter jaga IGD.
Pada surat pengantar rawat inap itu, dr. Bimanes menuliskan diagnosis hipertensi, vertigo, dan diabetes melitus sekaligus mambuat catatan harian dokter yang merupakan catatan hasil pemeriksaan awal terhadap pasien padahal dr. Bimanesh belum pernah memeriksa Setnov maupun tidak mendapatkan konfirmasi dari dokter yang menangani Setnov sebelumnya dari RS Premier Jatinegara.
Pada sekitar pukul 18.45 WIB, Sentov tiba di RS Medika Permata Hijau dan langsung dibawa ke kamar VIP 323 sesuai dengan Surat Pengantar Rawat Inap yang dibuat dr. Bimanesh.
Bimanesh lalu memerintahkan Indri (perawat) agar surat pengantar rawat inap dari IGD yang telah dibuatnya dibuang dan diganti baru dengan surat pengantar dari Poli yang diisi oleh dr. Bimanesh untuk pendaftaran pasien atas nama Novanto di bagian administrasi rawat inap padahal sore itu bukan jadwal praktek dr. Bimanesh.
Setelah Novanto dilakukan rawat inap, terdakwa memberikan keterangan di RS Medika Permata Hijau kepada wartawan (pers) seolah-olah Fredrich tidak mengetahui adanya kecelakaan mobil yang dialami Setnov dan baru mendapat informasi Novanto dirawat inap di RS Medika Permata Hijau dari Reza Pahlevi padahal sebelumnya Fredrich telah lebih dahulu datang ke RS Medika Permata Hijau meminta agar Setnov dirawat inap dengan permintaan yang terakhir dirawat karena kecelakaan.
"Terdakwa juga memberikan keterangan kepada pers bahwa Novanto mengalami luka parah dengan beberapa bagian tubuh berdarah-darah serta terdapat benjolan pada dahi sebesar 'bakpao'. Padahal, Setnov hanya mengalami beberapa luka ringan pada bagian dahi, pelipis kiri, dan leher sebelah kiri, serta lengan kiri," jelas jaksa.
Pada sekitar pukul 21.00 WIB, penyidik KPK datang ke RS Medika Permata Hijau mengecek kondisi Novanto yang ternyata tidak mengalami luka serius, namun Fredrich menyampaikan bahwa Setnov sedang dalam perawatan intensif dari dr. Bimanesh sehingga tidak dapat dimintai keterangan.
Fredrich juga meminta Mansur (satpam RS Medika Permata Hijau) agar menyampaikan kepada penyidik KPK untuk meninggalkan ruang VIP di lantai 3 yang sebagian kamarnya sudah disewa keluarga Novanto dengan alasan mengganggu pasien yang sedang beristirahat.
Pada 17 November 2017, penyidik KPK hendak melakukan penahanan kepada Novanto setelah sebelumnya berkoordinasi dengan tim dokter di RS Medika Permata Hijau yang secara bergantian memeriksa kondisi Setnov,?tetapi?Fredrich menolak penahanan tersebut dengan alasan tidak sah karena Setnov sedang dalam kondisi dirawat inap. Padahal, setelah Setnov dirujuk dari RS Medika Permata Hijau ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan dilakukan pemeriksaan oleh Tim dokter dari ikatan Dokter indonesia (IDI) hasil kesimpulannya menyatakan bahwa Setnov dalam kondisi mampu untuk disidangkan (fit to be questioned) sehingga layak untuk menjalani pemeriksaan penyidikan oleh penyidik KPK dan tidak perlu rawat inap.
Selanjutnya, Novanto pun dapat dibawa dari rumah sakit ke kantor KPK untuk dimintai keterangan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan di rutan KPK.
Terhadap perbuatan tersebut, Fredrich didakwa dengan pasal 21 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ratih Rahayu