Disrupsi sangat?menyenangkan bagi CEO. Seharusnya. Bila ada CEO yang merasa tidak senang, khawatir, atau terganggu, tentu ada yang salah. Paling tidak, salah dalam hal memahami esensi dari disrupsi itu sendiri. Semakin Anda memahami disrupsi, semakin besar semangat membangun korporasi.
Ketakutan tersebut muncul karena disrupsi atau gangguan bisnis dan korporasi saat ini, utamanya bersumber dari teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang kemudian memunculkan VUCA, yaitu volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity. Bagi CEO atau secara umum direksi (BOD, board of directors) dan komisaris yang memiliki preferensi risiko atau risk appetite rendah, VUCA menjadi momok besar.?
Bayangkan, TIK meningkatkan efisiensi secara eksponensial. Dampaknya, model bisnis yang Anda miliki saat ini tidak lagi relevan dan terlalu mahal. Tetapi, Anda tidak dapat mengubah dengan cepat kaena harus mengakuisisi TIK yang baru, yang customized dengan kebutuhan Anda. Pada saat yang bersamaan,?penggunaan model baru tersebut berdampak pada pengambil-alihan tenaga dari insani ke digitalisasi. Artinya, Anda perlu memikirkan pengurangan jumlah tenaga kerja yang memiliki implikasi panjang.
Sebagai CEO atau anggota BOD, Anda tidak dapat menghentikan perubahan eksponensial dari kemampu-gunaan TIK untuk menggantikan proses bisnis, karyawan, dan mekanisasi ke digitalisasi. Bahkan ada yang meramalkan, dalam tempo lima puluh tahun ke depan nyaris semua pekerjaan manusia bisa digantikan oleh artificial intelligence (AI). AI semakin menyerupai kemampuan manusia dalam hal menjalankan pekerjaan yang secara konvensional dijalankan manusia.
Disrupsi yang dimotori oleh perkembangan TIK menyebabkan persaingan dan industri tidak relevan lagi. Misalnya, sebuah hotel tidak bisa mendefinisikan pesaingnya adalah (semata-mata hanya) hotel, tetapi juga e-commerce di bidang jasa pencarian sampai pemesanan hotel. TIK juga memperluas peta persaingan dunia pendidikan, apalagi dengan diizinkannya perguruan tinggi luar negeri masuk ke Indonesia, menjalankan program pendidikan jarak jauh, dan model program yang fleksibel.
Disrupsi berbasis TIK juga menjadikan batas negara menjadi kurang relevan dalam menjalankan bisnis, benar-benar menuju borderless transaction dan borderless competition. Hal ini ternyata terjadi bukan hanya di sektor bisnis, tetapi juga sektor publik. Perusahaan lokal tidak saja bersaing dengan sesama perusahaan lokal, tetapi juga dengan perusahaan asing yang tidak perlu secara fisik hadir di wilayah lokal. Demikian juga sektor publik. Pemerintah daerah seperti Kabupaten Bekasi, misalnya, tidak hanya bersaing dengan sesama kabupaten di Indonesia atau wilayah Jabodetabek dalam menarik investor, wisatawan, dan tenaga kerja, tetapi bersaing dengan kabupaten, kota, atau pemerintah daerah di Vietnam, Kamboja, dan negara lainnya.?
Secara mikro, korporasi yang tidak menyiapkan diri bertransformasi akan tergilas. Secara makro, industri dan pemerintah yang tidak matang mempersiapkan diri juga akan kewalahan menghadapi serangan, yang salah satu wujudnya adalah defisit neraca perdagangan, tekanan terhadap mata uang, dan kemudian kenaikan inflasi.
Redefinisi Disrupsi
Melihat gambaran di atas, dengan acuan VUCA menjadi momok bagi CEO yang, sekali lagi, konservatif atau memiliki preferensi risiko rendah. Apalagi bagi mereka yang mengelola korporasi yang berada di industri yang relatif stabil atau sudah jenuh (mature).?
Yang saya pahami, langkah utama seorang CEO dan juga seluruh anggota BOD adalah mengubah pandangan VUCA menjadi VASA, yang merupakan akronim dari vision, attitude, strategy, dan advantage. Berikut adalah esensi dari VASA.
V: Vision. CEO perlu membangun visi sebagai panduan organisasi menuju masa depan. Tentunya visi harus positif, memberikan keyakinan kepada pemangku kepentingan bahwa visi tersebut baik, bernilai, dapat dicapai, dan mampu mendorong pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencapai visi tersebut
Ini berarti, pertama-tama CEO musti mampu melihat sisi positif di balik VUCA. CEO mampu melihat peluang dari perkembangan lingkungan eksternal, seperti TIK, perubahan sosial dan lainnya, serta lingkungan internal yang cenderung memunculkan ketidakpastian dan ketidakjelasan. Peluang tersebut bisa berarti memanfaatkan perkembangan, termasuk TIK, sebelum pihak lain melakukannya dan menjadi pelaku pertama. Visi ini menuntut CEO mendapatkan informasi yang cukup mengenai arah perkembangan supaya dapat bergerak lebih awal dari pesaing.?
Bila tidak mampu menjadi pelaku pertama, first mover, CEO bisa membangun visi sebagai modifier. Caranya, mengembangkan alternatif berupa penggabungan berbagai fungsi dari produk yang ditawarkan, termasuk lintas industri, seperti yang terjadi di industri berbasis TIK, menghilangkan yang tidak penting sehingga bisa lebih efektif dan efisien, atau memberi nilai tambah melalui diferensiasi.
Alternatif lainnya adalah sebagai collaborator, membangun aliansi dengan pihak lain untuk meningkatkan daya saing. Kolaborasi bisa dilakukan dengan pesaing untuk menekan tingkat persaingan, dengan produk substitusi untuk menahan pergeseran pasar, dengan produsen komplemen untuk melengkapi portofolio produk (barang dan jasa) bagi pengguna, atau lintas industri untuk memenuhi kebutuhan pengguna secara lebih lengkap.
A: Attitude. Pertama-tama, attitude atau sikap yang harus dibangun adalah pandangan terhadap disrupsi. Perlu dicamkan oleh CEO dan BOD bahwa disrupsi bukan masalah teknologi, bukan masalah TIK, tetapi masalah sikap. Teknologi hanyalah piranti untuk melakukan disrupsi. Banyak orang menggunakan teknologi baru, tetapi tidak mampu mendisrupsi pasar. Institusi yang ingin berkembang, mengambil pasar pesaing, atau bahkan menjadikan persingan tidak relevan dan mampu menjadi pemain tunggal harus mampu menciptakan disrupsi melalui berbagai sumber. Ciri-ciri bahwa pasar terdisrupsi adalah bila pengguna memberikan ekspresi ?Wow? karena merasa ada yang baru, ada nilai tambah yang sangat signifikan di luar kebiasaan dari produk pesaing.?
Nilai tambah bisa dibangun pada tataran input, misalnya menggunakan bahan yang awet, ramah lingkungan, dan lebih hemat; tataran proses, misalnya ramah lingkungan, lebih cepat, memberi pengalaman kepada pengguna seperti pada konsep DIY (do it yourself), dan memberi kesan atau merek sebagai proses pelayanan?yang modern; tataran output, misalnya produk yang multiguna, ramah lingkungan, mudah dan murah penggunaan, membangun?image?pengguna, dan lainnya.
Sikap juga terkait dengan sikap terhadap risiko. Membangun disrupsi mengandung risiko. Dengan demikian, keberanian mengambil risiko mesti ada. Kalau ingin tetap berada pada sikap konservatif, disrupsi bisa dilakukan melalui proyek uji coba, pilot project, dengan skala terbatas sampai mencapai tingkat keyakinan bahwa proyek tersebut memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Setelah itu, dinaikkan ke skala produksi, up scale.
S: Strategy. Visi dan sikap memberi manfaat bagi organisasi bila tertuang ke dalam strategi. Tidak perlu banyak diuraikan di sini mengenai apa dan bagaimana strategi disusun. CEO dapat mengarahkan model penyusunan strategi, apakah menggunakan market-based atau resource-based strategy, atau gabungan dari keduanya.
A: Advantages. Berarti, pastikan bahwa strategi, beserta tujuan, sasaran, dan program yang ditetapkan memberi manfaat. Paling tidak ada tiga jenis manfaat: ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang juga dikenal dengan ESE ? economic, social, and environmental benefits/ advantages. Manfaat juga perlu dirasakan atau dinikmati oleh para pemangku kepentingan, bukan saja pemegang saham. Korporasi yang hanya mementingkan pemegang saham dengan mengabaikan pemangku kepentingan lainnya tidak akan langgeng. Korporasi yang mengutamakan berbagai pemangku kepentingan, tetapi tidak memerhatikan pemegang saham juga tidak akan bertahan. Perhatian korporasi kepada berbagai pemangku kepentingan dengan baik akan berdampak pada kesejahteraan pemegang saham dan keberlangsungan korporasi.?
Selamat menerapkan VASA!
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: