Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Mispersepsi SKM Antara Kemenkes dan BPOM, Masyarakat Dibuat Bingung

        Mispersepsi SKM Antara Kemenkes dan BPOM, Masyarakat Dibuat Bingung Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Beberapa waktu yang lalu, publik dikejutkan dengan fenomena susu kental manis (SKM) yang telah memakan korban di Makassar dan Batam. Hal menarik disini terdapat perbedaan persepsi antara Kemenkes dan BPOM. Adanya mispersepsi ini membuat masyarakat bingung dang bertanya-tanya ketidaksinambungan komunikasi yang selaras antara Kemenkes dan BPOM.?

        Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akhirnya buka suara terkait susu kental manis. Melalui akun Twitter resminya @Kemenkes_RI, Kemenkes memberikan caption?edukasi tentang fakta susu kental manis dan cara yang tepat dalam penggunaannya.?

        "#Tahukah kamu jika SKM dibuat dengan cara menguapkan sebagian air dari susu segar (50%) dan ditambah dengan gula 45-50%? SKM sendiri mengandung karbohidrat dan gula yang jauh lebih tinggi serta protein yang jauh lebih rendah dari susu bubuk full cream," cuit @Kemenkes_RI, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (11/5/2018).

        Alhasil, dalam waktu singkat, penjelasan Kemenkes ini mencuri perhatian netizen. Dalam kesempatan itu, Kemenkes juga mengedukasi publik bagaimana seharusnya SKM digunakan, yaitu hanya untuk campuran makanan. Bila anak mengonsumsi dua gelas SKM sehari, menurut Kemenkes, akan melebihi kebutuhan gula harian yang pembatasannya telah diatur melalui Permenkes No. 30 tahun 2013 yang selanjutnya diamandemen dengan Permenkes No. 63 Tahun 2015, tentang penetapan batasan-batasan konsumsi gula, natrium, dan lemak.

        Lebih lanjut, Kemenkes juga menyatakan SKM tidak cocok untuk anak di bawah usia 3 tahun yang masih membutuhkan lemak dan protein tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangan. Namun, jika memperhatikan peringatan yang tertera pada kemasan SKM berbagai merek, tertulis bahwa SKM tidak dianjurkan untuk anak di bawah 1 tahun.?

        Selang beberapa hari, BPOM juga mem-posting materi edukasi tentang susu kental manis melalui akun Twitter resminya @BPOM_RI. Dengan mengacu pada Perka BPOM No. 21/ 2016 tentang Kategori Pangan, BPOM menjelaskan bahwa susu kental adalah produk susu yang diperoleh dengan cara menghilangkan sebagian air dari susu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lainnya.?

        Bila mencermati informasi yang disampaikan kedua institusi tersebut, seolah terdapat perbedaan pendapat. Kemenkes jelas mengatakan bahwa susu kental mengandung gula yang tinggi. Sementara BPOM tidak menyinggung sama sekali tentang kadar gula yang terkandung dalam susu kental manis.?

        Hal lain yang juga terlihat berbeda adalah pendapat batasan umur yang dapat mengkonsumsi susu kental manis. BPOM mengatakan, susu kental manis tidak untuk anak berusia dibawah 12 bulan, sementara Kemenkes memberi batasan umur pemberian SKM sebaiknya tidak untuk anak di bawah 3 tahun. Sebab, tingginya kandungan gula dalam susu kental manis dapat mengganggu pencernaan anak, memengaruhi pola makan, dan turut berdampak pada gangguan tumbuh kembang anak.

        Pembuatan susu kental manis dengan cara menguapkan air pada susu segar serta penambahan gula dengan takaran 40-50% juga dijelaskan oleh @Kemenkes_RI. Terlebih, Kemenkes juga telah membuat aturan Permenkes No. 30 tahun 2013 lalu, diamandemen Permenkes No. 53 tahun 2015 mengenai batasan-batasan konsumsi gula, natrium, dan lemak.

        Perihal susu kental manis yang mengandung kadar gula yang tinggi dengan protein lebih rendah dari susu yang lain, diharapkan masyarakat semakin cermat dalam memilih makanan dan minuman bergizi dalam keluarga. Baiknya, Kemenkes maupun BPOM lebih intensif memberikan edukasi yang selaras agar masyarakat tidak mudah tergerus informasi yang tidak valid.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ratih Rahayu
        Editor: Ratih Rahayu

        Bagikan Artikel: