Sentimen dari global masih terus menghantam pasar finansial sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia sepanjang April hingga Mei 2018. Mata uang Rupiah telah melemah 2,99% sejak awal tahun terhadap Dolar Amerika Serikat (AS), atau berada pada level 13.960 pada akhir pekan (11/5/2018). Mengikuti pergerakan Rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 6,28% atau pada level 5.956,83. Begitu pun, Indonesia Composite Bond Index (ICBI) yang melemah 1,73%.
Menanggapi hal tersebut, PT Bahana TCW Investment Management sebagai salah satu anak usaha PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) melihat pelemahan yang terjadi pada kurs Rupiah terhadap Dolar AS cenderung disebabkan dari faktor eksternal dan bukan dari dalam negeri, baik itu kebijakan fiskal maupun moneter.
"Dari segi fiskal, baik itu pemasukan, pengeluaran, dan pembiayaan menunjukkan angka yang bagus. Bank Indonesia pun juga melakukan intervensi dengan melepas valas hingga US$7 miliar. Hal ini memperlihatkan kebijakan BI yang mempertimbangkan faktor stabilisasi dan pertumbuhan sehingga ditempuh dalam bauran kebijakan (policy mix)," ungkap Direktur Strategi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Menurut Budi, masalah yang kini menimpa mata uang Rupiah adalah sentimen eksternal, baik itu dari stimulus Pemerintah AS Donald Trump yang memangkas pajak korporasi sehingga berpeluang bagi bank sentral AS (The Fed) dalam menaikkan suku bunga. Di samping itu, Dolar AS menguat dan berbalik arah (unwind position) hampir terhadap sejumlah kurs mata uang asing.
Akan tetapi, lanjut Budi, Rupiah bukan satu-satunya mata uang yang mengalami pelemahan terhadap Dolar AS.
"Kami melihat publik perlu teredukasi menyikapi pelemahan Rupiah. Secara global, koreksi Rupiah tak terlalu dalam dibandingkan sejumlah mata uang negara berkembang lainnya. Pengelolaan makroekonomi Argentina yang kurang bagus melandasi koreksi nilai tukar dan kenaikan suku bunga tertinggi di dunia. Sebagai contoh, mata uang Argentina Pesso terkoreksi 24,6% (ytd), Filipina Peso terkoreksi 4,93% (ytd), India Rupee melemah 5,42% (ytd), mata uang Brazil melemah 8,69% (ytd)," jelas Budi.
Sementara harga minyak dunia yang terus melambung, ikut memicu defisit impor minyak pada kuartal I 2018. Kenaikan harga minyak telah memicu defisit minyak naik 13% (yoy) atau dibandingkan kuartal satu tahun lalu. Sementara itu, neraca dagang Indonesia di kuartal yang sama membukukan surplus US$280 juta, turun signifikan hingga 93% dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu dengan surplus sebesar Rp4,08 miliar.
"Pelemahan Rupiah juga dipengaruhi faktor kebutuhan valuta asing yang dikumpulkan oleh korporasi nasional sebagai pembayaran dividen ke luar negeri. Pola pembayaran dividen berupa valuta asing yang umum terjadi di kuartal dua telah menyebabkan Rupiah tertekan," jelasnya.?
Sementara itu, dana asing terus keluar (capital outflow) dari pasar obligasi dan IHSG sebagai dampak dari pelemahan Rupiah. Secara global, dugaan Fed rate naik lebih banyak memicu kenaikan yield T-bond. Yang selanjutnya berisiko memicu kenaikan yield boligasi banyak naik akibat aksi ambil untung investor asing.
Meskipun volatilitas masih membayangi pasar finansial Indonesia, Bahana menilai kondisi makroekonomi nasional masih tetap positif dalam jangka panjang. Hal ini tercermin dari penerimaan pajak di kuartal satu yang meningkat 16,21% dibandingkan kuartal satu tahun lalu.
"Penerimaan pajak ini memberi efek positif bagi pertumbuhan ekonomi, terutama dapat mengurangi supply risk obligasi negara," tambah Budi.
Kenaikan peringkat kredit Indonesia dari Baa3 menjadi Baa2 dengan proyeksi stabil dari Moodys Investors Service juga menjadi payung positif bagi kestabilan ekonomi Indonesia, khususnya mengurangi risiko gagal bayar.
Daya beli masyarakat pun mulai membaik, ditandai dengan penjualan sepeda motor di Maret yang naik hampir 22% dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini juga diperkuat dari pertumbuhan M1 (uang beredar), berhubungan positif dengan penjualan kendaraan hingga kinerja IHSG.
"Untuk itu, kami berharap Pemerintah segera menyalurkan belanja pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat," jelas Budi.
Melihat volatilitas yang masih terjadi di pasar saham, Bahana TCW masih melihat produk reksa dana berbasis obligasi masih menjadi favorit kalangan investor di kuartal dua tahun ini.?
"Investor mencari imbal hasil yang lebih pasti dan aman. Sementara mereka masih menghindari pasar saham karena volatilitas yang tinggi," ungkap President Director PT Bahana TCW Investment Management, Edward P Lubis.
Oleh karena itu, ungkapnya, produk investasi seperti protective fund dan pasar uang dalam durasi pendek paling banyak diminati. Edward mengungkapkan, saat ini Bahana aktif mencari kupon obligasi dan Medium Term Notes (MTN) korporasi dengan rating mulai dari A hingga A minus. Hal ini sesuai dengan banyaknya permintaan investor untuk menambah jumlah investasinya di reksa dana pendapatan tetap maupun terproteksi.
Direktur Riset dan Kepala Investasi Alternatif Bahana TCW, Soni Wibowo, mengungkapkan, total dana kelolaan yang dipegang anak usaha Bahana Pembinaan Usaha Indonesia ini telah mencapai Rp52 triliun dibandingkan kuartal satu tahun lalu. Produk reksa dana pendapatan tetap masih menjadi pilihan favorit para investor, yakni sekitar Rp12 triliun sampai Rp15 triliun, atau 21% dari total AUM. Di samping itu, reksa dana terproteksi memiliki 20,8% atau sekitar Rp10 triliun sampai Rp12 triliun. Sementara total dana kelolaan reksa dana pasar uang sebesar Rp8 triliun.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah