Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Mencegah Fintech Jadi Rentenir Digital

        Mencegah Fintech Jadi Rentenir Digital Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Bisnis keuangan digital tumbuh sepuluh kali lipat dalam satu tahun terakhir. Laju cepat pertumbuhan bisnis keuangan digital tersebut mendorong Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) duduk bersama OJK membahas kode etik untuk para pelaku fintech guna meminimalisir munculnya pemain-pemain nakal di industri fintech.

        Mengulik lebih jauh ke dalam?latar belakang penyusunan kode etik tersebut, wartawan Warta Ekonomi, Yosi Winosa, berbincang khusus dengan?Wakil Ketua Aftech sekaligus CEO Investree, Adrian Gunadi. Berikut ini petikan wawancaranya.

        Bagaimana kondisi bisnis keuangan digital saat ini?

        Kondisi bisnis dari sisi pertumbuhan angka-angka industri tumbuh 10 kali dalam satu tahun terakhir. Ini menunjukan bahwa potensi pasar Indonesia masih luas untuk fintech lending, khususnya yang menyasar segmen UMKM. Hampir seluruh fintech lending yang sudah terdaftar di OJK, sekitar 30-an perusahaan itu, 75 hingga 80% bermain di segmen UMKM.

        Jadi kalau kita lihat, segmen itulah yang paling disasar fintech lending karena keberadaan fintech lending sendiri, kan, sejatinya memberi akses ke UMKM yang selama ini mungkin mengalami kesulitan akses ke perbankan karena tidak memiliki jaminan atau perusahaannya belum cukup umur (mature).

        Jadi, saya melihat awal mulanya berdirinya fintech lending memang karena ada demand yang tinggi. Meski memang, semakin kesini, dalam perkembangannya terdapat berbagai model bisnis fintech lending di Indonesia dengan segmentasi yang berbeda-beda. Mulai dari yang fokus ke dana talangan konsumen dengan nominal di bawah Rp3 juta dan termin pinjaman kurang dari 1 minggu, hingga yang melayani pinjaman untuk modal usaha mikro kecil menengah (UMKM) hingga Rp2 miliar dengan termin pembayaran 1-12 bulan. Tapi pada dasarnya, inti bisnis mereka adalah tetap menekankan pada aksesabilitas dan kecepatan proses.

        Bisnis fintech saat ini masih didominasi fintech lending dan sistem pembayaran, bagaimana tren ke depan?

        Saat ini, mungkin dari fintech yang ada, sekitar 60% ada di lending dan di payment system 30% karena memang segment tersebut masih sangat perlu support. Kebutuhan masyarakat terhadap sistem payment dan kredit masih sangat besar. Kalau kita baca riset ADB, ada angka kebutuhan payment transfer di Indonesia sekitar US$144 miliar yang belum dipenuhi segmen formal, di pinjaman angkanya US$70 miliar.

        Di situlah peranan teknologi dalam menjembatani gap ini. Jadi, dalam 2 hingga 3 tahun ke depan, sih saya rasa trennya masih didominasi fintech lending dan payment system. Kalau dari 235 anggota kami sendiri, sekitar 92 di antaranya merupakan perusahaan payment, 75 perusahaan P2P lending, 26 perusahaan market aggregator, 26 perusahaan investment manager, 9 perusahaan insurance tech, dan 7 perusahaan equity capital rising.

        Regulator ingin agar fintech semakin memperhatikan aspek KYC, transparansi, dan mitigasi risiko. Bagaimana respon industri?

        Yang kita bangun dari awal sebenarnya, kan, aspek-aspek tersebut. Pada saat penyusunan POJK Nomor 77/ 2016 sejak awal, asosiasi, OJK, dan kami banyak melakukan working group dan FGD untuk menyusun roadmap dan memperhatikan aspek-aspek tersebut. Dan saya rasa POJK No.77 tersebut memang masih sangat general.

        Tentu, seiring tumbuhnya bisnis ini dan makin luasnya segmen ini, kita perlu duduk kembali dan membahas aturan yang lebih detail. Itulah kenapa, kami menginisiasi code of conduct responsible lending karena kami dari pelaku merasa sudah saatnya kita punya code of conduct yang dimotori pelaku industri. Kita mem-bencmark AS karena mereka memiliki marketplace lending code of conduct yang mengatur terkait perlindungan konsumen, mitigasi risiko, transparansi, termasuk dalam hal pricing harga dan sebagainya.

        Saat ini, kami dengan OJK tengah dalam proses membahas 2 surat edaran (SE). Surat Edaran ini membahas lebih detail terkait perizinan dan tata cara pinjam-meminjam. Terkait SE perizinan disinggung syarat-syarat ketentuan perizinan dan aspek PMA. Sementara itu, terkait SE, disinggung tata cara terkait beberapa hal, termasuk penggunaan virtual account, aggregator, dan pelaksanaan teknis P2P, misalnya dari sisi perjanjian.

        Akan ada inisiatif apalagi ke depan, selain COC responsible lending tadi?

        Itu bisa kita bilang milestone pertama kita, code of conduct ini harapannya awal April sudah bisa kami launching. Saat ini, kami sedang minta waktu sharing audience final draft dengan OJK. Bisnis ini, kan, baru sehingga harus sangat dinamis. Kami juga selalu antisipasi concern OJK dan masyarakat. Di samping itu, kami ingin membangun industri yang sustainable ke depannya dan diisi pemain-pemain yang kredibel. Potensi pasar yang ada tahun lalu saja bisa tumbuh 10 kali lipat dan ini baru awal-awal, kan. Kami juga mengapresiasi inisiatif dari berbagai stakeholder, termasuk dari perusahaan penjaminan kredit.

        Kami tahu, berdasarkan POJK, risiko kehilangan dana karena gagal bayar yang dihadapi oleh pemberi pinjaman melalui fintech tidak di-cover. Namun, kami lihat Jamkrindo dan Askrindo sampai jemput bola. Ini yang harusnya lebih banyak didukung, bahwa asuransi penjaminan penting untuk menunjang fintech pinjam-meminjam uang. Asuransi penjaminan di negara-negara lain, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, belum banyak yang menutupi. Indonesia termasuk yang progresif dalam kaitannya dengan fintech.

        Soal bunga kredit yang tinggi, sebetulnya kelas menegah bawah tidak terlalu sensitif terhadap isu ini sepanjang bisa memberikan pinjaman dengan mudah dan prosesnya cepat, kan?

        Soal regulator yang memiliki concern terhadap tingkat bunga fintech lending yang tinggi, sebenarnya harus dilihat konteks bunga tinggi itu, kan, relatif dan harus dilihat secara menyeluruh. Kalau misal prosesnya lama, ditambah syarat yang susah, itu menjadi sesuatu yang costly. Sekarang, bisnis model P2P atau fintech lending itu kan passthrough atau platform. Intinya, kami tidak meminjamkan dari balance sheet menjadi murni unsur supply dan demand yang akan menentukan. Kalau lender saat ini yang kebanyakan masih individu, tentunya dia mengharap return lebih tinggi dari suku bunga perbankan atas risiko dia meminjamkan itu kan, ataupun return yang lebih tinggi dari kupon obligasi misalnya.

        Dengan demikian, semakin industri ini berkembang, kita akan melihat evolusi bahwa 2 tahun lagi lenders-nya akan banyak dari institusi, jadi ekspektasi return-nya tentu tidak setinggi individu sehingga diharapkan mungkin dalam 1 atau 2 tahun ke depan, tingkat bunga akan jauh lebih rendah dari sekarang. Satu contoh, LPDB sudah punya recana untuk memanfaatkan teknologi fintech. Mereka memberikan cost of fund yang sangat murah.

        Di situlah, kami melihat kalau mereka ok dengan cost of fund murah sehingga kami bisa menyalurkan langsung. Berbeda dengan bank, kami tidak mengambil atas spread biaya dana tersebut. Kami hanya mengambil fee biaya processing, seperti analisis, collection kalau misal dia gagal bayar dan cadangan premi asuransi jaminan. Bahkan, bocoran saja, tahun ini sudah ada beberapa bank swasta dari buku IV, III, dan II yang akan bekerja sama chanelling agent dengan kami (Investree) karena mereka menyadari keberadaan fintech untuk akuisisi nasabah UMKM secara lebih efisien, serta lebih mudah dalam memenuhi kewajiban 20% target pinjaman ke UMKM. Namun, sampai saat ini, kondisinya memang rata-rata hampir 80-90% fintech lending adalah individu karena, ya, industri ini memang masih baru, kan.

        Apa yang dibutuhkan industri untuk mengakselerasi pertumbuhan?

        Kalau dari sisi makronya, regulasi tersebut tidak hanya OJK, melainkan juga dengan Kementerian Keuangan, kami bisa berperan sebagai platform penyaluran program-program pemerintah ataupun distribusi SBN (bond). Kami sudah mulai menggunakan teknologi. Juga dari sisi aspek perpajakan, kami menyusun framework perpajakan fintech lending. Dari sisi spesifik industrinya, mungin tantangannya kolaborasi, ekosistem, dan tidak kalah penting SDM juga jadi kunci.

        Kami, kan, harus terus mencari, hire, train mereka. Itu saya kira merupakan salah satu factor keberhasilan industri ini ke depan. Beda dengan 2 tahun lalu, orang menganggap, fintech itu apa? Sekarang, semua pada rebutan pengen kerja di fintech.

        Faktanya, utamanya para milenial kita banyak yang interest, 70% pekerja Investree itu usianya 21-35 tahun. Jadi, saya rasa, itu menjadi challenge membangun SDM, dan edukasi masyarakat kami mulai dari kampus, komunitas, dan sebagainya.

        Adakah negara yang menjadi benchmark pengembangan fintech yang baik?

        Kami lihat AS, China, UK, itu bagus. India justru belajar dari kita dalam menyusun regulasi. Mereka cuma menambahkan elemen fit and proper kepada pengurus. Akan tetapi, AS, China, dan UK itu mereka sudah 10 tahun lebih industrinya, di AS bahkan sudah ada yang IPO pula. Nah, kami ambil benchmark dari mereka dan disesuaikan dengan pasar Indonesia.

        Saat ini, sudah ada OJK dan BI yang menangai fintech. Apa masih perlu badan khusus yang dedicated untuk fintech?

        Mungkin, untuk saat ini belum. Hal yang terpenting, bagaimana para regulator mengenal terlebih dahulu bisnis ini. Karena saat ini yang dominan itu fintech payment dan lending dan yang jadi prioritas dibangun framework regulasinya dulu. Saya rasa dengan adanya peranan asosiasi yang lebih aktif, tahun 2019 mungkin fintech market aggregator atau yang lainnya bisa menyusul. Tapi memang kita secara reguler tiap 2 mingguan atau 1 bulan semua asosiasi fintech dengan regulator selalu berdialog untuk memberikan arahan yang tepat terkait masa depan industri ini.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ratih Rahayu
        Editor: Ratih Rahayu

        Bagikan Artikel: