Keterbatasan fisik tidak menghentikan cita-cita Ajeng Widawati untuk menjadi seorang pengusaha butik sukses. Ia terus bangkit meski sudah belasan kali gagal menjalani usaha.
Suara Ajeng Widawati (31) tiba-tiba bergetar, sedikit terharu. Ia mengatakan sudah belasan kali menjalani usaha, namun selalu gagal. Beberapa usaha yang pernah dijalani seperti berjualan teh manis, coklat koin, nasi kuning, hingga es bonbon tak berjalan mulus. Ia juga pernah coba bekerja sebagai penjaga toko pakaian di Depok, namun hanya bertahan tiga bulan.
"Selama usaha kadang pendapatan naik, kadang turun. Pernah dalam waktu lama tak mendapat penghasilan sama sekali hingga kehabisan modal dan bangkrut," katanya kepada Warta Ekonomi melalui sambungan telepon di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ajeng merupakan seorang penyandang cerebral palsy (lumpuh otak) kategori ringan. Cerebral palsy ini membuat dirinya kesulitan mengendalikan gerak motorik. Meski sejak kecil sering tiba-tiba terjatuh, tetapi ia mengatakan baru tahu dirinya menyandang cerebral palsy pada tahun 2012.
"Selama 25 tahun saya tidak tahu kalau terkena cerebral palsy," sebutnya.
Cerebral palsy merupakan kelumpuhan atau kelemahan anggota gerak tubuh yang disebabkan oleh kerusakan jaringan otak. Kerusakan jaringan otak ini bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti cedera parah di kepala atau infeksi pada otak saat bayi. Gejala cerebral palsy bisa diketahui pada tiga tahun pertama kehidupan seseorang. Hingga saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan cerebral palsy.
Perempuan kelahiran Garut, 5 Oktober 1986, ini mengatakan bahwa pada umur delapan bulan dirinya pernah jatuh dan mengalami benturan keras di kepala dan tulang belakang. Tiga hari setelah jatuh ia mengalami panas tinggi hingga kejang-kejang. Ia mengatakan dirinya sempat kritis dan hampir meninggal dunia.
"Kemungkinan saya terkena cerebral palsy karena jatuh saat bayi. Jadi, bukan karena bawaan lahir, bukan karena keturunan, dan bukan karena infeksi," ujarnya.
Hidup dengan cerebral palsy membuat Ajeng kerap mendapat perlakuan diskriminatif dari orang di sekitarnya. Ia jarang diajak bermain oleh teman-teman di sekolah dasar karena dianggap tak mampu mengikuti permainan. Saat menduduki bangku SMA ia sering dikucilkan oleh teman-teman sekolah karena tak ada yang mau satu kelompok dengannya.
"Jadi, saya suka sendirian saat sekolah. Saya juga tidak pernah ikut pelajaran olahraga," sebutnya.
Beruntung, ia memiliki sosok ibu yang selalu memberi dukungan dan semangat padanya. Ia juga dididik untuk hidup mandiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Setelah lulus SMA ia mulai menjalani usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Jatuh Bangun
Usaha pertama yang dijalani Ajeng yakni berjualan es teh manis di depan SD di wilayah Garut. Seluruh modal usaha diberikan oleh orang tuanya. Bahan baku pembuatan es teh manis diperoleh dari warung milik sang ibu. Secara total, ia mengeluarkan modal sebesar Rp300 ribu untuk membuka usaha tersebut.
Anak kedua dari empat bersaudara ini menjajakan es teh manis senilai Rp500 per plastik. Pada awalnya usaha es teh manis sangat laris dan diserbu oleh murid-murid SD. Namun, seiring berjalan waktu konsumen yang berbelanja mulai berkurang karena bosan. Apalagi, saat libur panjang tiba maka ia kehilangan konsumen. Usaha pertama Ajeng hanya berumur beberapa bulan.
"Setelah usaha pertama gagal, kemudian saya ganti barang dagangan. Saya gonta-ganti produk dagangan sampai beberapa kali. Sampai akhirnya saya benar-benar berhenti jualan di depan SD," ujarnya.
Putusan untuk berhenti berjualan di depan SD menjadi hal yang berat bagi Ajeng. Ia merasa gagal dan frustrasi karena belasan kali usaha selalu gagal. Ia juga malu kepada sang ibu karena belum bisa memberikan hasil usaha yang baik. Satu-satunya usaha yang tersisa hanya bisnis jualan pulsa yang dirintis pada 2015.
Akhirnya, pada tahun 2016 ia memutuskan untuk merantau ke Bekasi. Di tempat inilah ia bertemu dan bergabung dengan komunitas disabilitas. Dalam suasana batin yang jatuh tersebut ia kembali mendapat dukungan dan semangat dari teman-teman disabilitas. Puncaknya, salah satu teman yang ia sapa Bude Paini mengajak dirinya untuk mengikuti pelatihan Reach Independence and Sustainable Entrepreneurship (RISE) yang digelar oleh Maybank Foundation di Islamic Center Bekasi pada 8-10 November 2017.
"Pelatihan ini menyadarkan saya bahwa menjalani usaha tidak semudah mengembalikkan telapak tangan," sebutnya.
Ia mengatakan dirinya mendapat banyak ilmu dari pelatihan RISE ini seperti cara berdagang, pengetahuan pengelolaan keuangan usaha, strategi pemasaran, hingga motivasi untuk terus berusaha. Ia juga mulai belajar memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
"Di pelatihan RISE saya tahu bahwa ada ratusan penyandang disabilitas yang seperjuangan dengan saya," ujarnya.
RISE merupakan program pembinaan kewirausahaan dan keuangan berkelanjutan bagi para penyandang disabilitas. Program ini bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kapabilitas usaha mikro-UKM sehingga dapat memberikan dampak positif bagi komunitas di sekitar. Program ini meliputi pelatihan selama tiga hari dan dilanjutkan program mentoring terstruktur selama tiga hingga enam bulan.
Dari program RISE yang dijalani, Ajeng berhasil meningkatkan pendapatan bisnis jualan pulsa hingga lebih dari 10 kali lipat. Selain itu, ia mulai melakoni bisnis baru sebagai reseller pakaian online. Ia memiliki beberapa pemasok dari daerah Bandung, Tangerang, dan Depok. Produk pakaian tersebut ia pasarkan ulang melalui media sosial, aplikasi perpesanan, dan berbagai situs e-commerce. Di awal memulai bisnis ia sudah mencatat pendapatan?jutaan rupiah per bulan. Konsumen tidak hanya berasal dari Pulau Jawa, namun juga menjangkau Pulau Bali dan Kalimantan.
Mimpi Membuka Butik
Tak lama setelah menjalani pelatihan RISE, Ajeng terpaksa pulang ke kampung halaman di Garut karena mendapat kabar sang ibu jatuh sakit. Operasional bisnis reseller pakaian online yang tengah naik daun harus dipindahkan dari Bekasi ke Garut. Sang ibu berharap bisnis anaknya bisa terus berkembang.
"Ibu berpesan kepada saya untuk fokus mengembangkan bisnis," ucapnya.
Ia mengatakan dirinya memiliki cita-cita untuk membuka butik sebagai pengembangan bisnis. Hal itu karena ternyata banyak warga Garut yang tertarik membeli pakaian melalui dirinya. Jika bisa membuka butik offline maka warga Garut bisa mencoba produk-produk pakaian secara langsung. Ia juga bisa memproduksi pakaian sesuai dengan permintaan pasar tanpa harus bergantung pada stok supplier. Yang terpenting, ia bisa memenuhi harapan orang tua untuk mengembangkan bisnis pakaian.
Pada bulan Desember 2017 sang ibu menghembuskan nafas terakhir karena penyakit kanker serviks yang diderita. Ini merupakan pukulan berat bagi Ajeng karena ibu merupakan sosok yang selalu setia memberi dukungan pada dirinya. Apalagi, sang ayah sudah sejak lama wafat. Kini ia tinggal bersama nenek dan seorang adik yang masih sekolah. Kakak dan satu orang adiknya telah menikah. Ajeng sendiri hingga kini?masih belum menikah.
"Kepergian mama membuat saya terpuruk, tapi saya ingat pesan mama untuk fokus berusaha. Saya juga ingat pesan di pelatihan RISE bahwa membangun usaha itu merupakan proses panjang," paparnya.
Hampir satu tahun melakoni bisnis reseller pakaian online, ia masih meniti jalan untuk menjadi pengusaha butik sukses. Jalan panjang tersebut memang tidak mulus dan banyak aral melintang, namun ia yakin bisa mencapai tujuan. Ia meyakini hasil tidak pernah ingkar janji terhadap proses.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: