Jurnalis Amerika Serikat Margaret Farley mengatakan subyektifitas dapat mendorong seseorang mempercaya kabar bohong atau hoax.
"Otak kita memiliki yang namanya bias konfirmasi (confirmation bias). Ketika kita menyukai atau mempercayai sesuatu, otak kita akan cenderung menolak informasi yang mengatakan bahwa hal itu tidak benar atau salah," kata dosen di Fakultas Jurnalistik American University itu, pada diskusi bertajuk "Fake News: How to Know What to Believe" di @america Pacific Place Jakarta.
Farley?mengatakan, sebagai penerima informasi, masyarakat juga harus menyadari adanya subjektifitas atau bias tersebut, karena dengan demikian, akan muncul kemampuan untuk membedakan berita bohong dengan fakta.
"Para pembuat hoax sangat memahami cara otak kita bekerja. Secara alamiah, kita sering tertarik pada berita-berita yang membuat kita bereaksi, itulah mengapa kebanyakan berita bohong menggunakan judul-judul yang mencengangkan. Mereka memang dengan sengaja mentarget subjektifitas kita," jelasnya.
Sementara itu, pengajar dari Universitas Media Nusantara Ignasisus Hariyanto menyoroti pentingnya memiliki pemikiran yang terbuka, ketimbang hanya mempercayai apa yang seseorang inginkan saja.?Sebagai contoh, kata dia, pada masa kampanye pemilihan umum Presiden, Ignasius tak pernah memutuskan pertemanan di media sosial dengan rekan-rekannya yang memiliki pandangan politik yang berbeda.
"Saya mencoba untuk memnbiasakan mendengar suara lain, supaya bisa mulai belajar untuk tidak hanya meyakini apa yang mau saya yakini. Saya mau dengarkan apa yang orang lain katakan," kata Ignasius.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: