Kerap Ada Tumpang Tindih Data, Sebaiknya Pemerintah Canangkan 'Satu Data Indonesia'
Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Wiku Adisasmito berpendapat sudah saatnya dibentuk "Satu Data Indonesia", yaitu integrasi data untuk mencegah adanya tumpang tindih dan perbedaan data yang kerap masih ditemukan.
"Saat ini permasalahannya tiap badan dan lembaga punya data yang berbeda, sehingga pemerintah bingung mengambil kebijakan berdasarkan data yang mana," ucapnya di Jakarta, Sabtu.
Jika sudah ada satu data yang terintegrasi, pemerintah dapat mengambil kebijakan berdasarkan data yang berkualitas, sehingga meningkatkan kepercayaan publik juga terhadap pemerintah, kata Wiku.
Untuk menentukan arah pembangunan, kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia tentu mengacu pada data yang diperoleh dari hasil penelitian.
Tak heran, di seluruh kementerian serta badan negara memiliki bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) yang masing-masing memiliki produk data sebagai acuan penentuan kebijakan.
Kalangan akademisi juga selalu melakukan penelitian yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan yang lebih komprehensif dan bersumber dari penelitian ilmiah. Hasil penelitian yang baik akan ditentukan oleh kualitas data yang baik.
Jika data tidak mencakup kriteria validitas, akurasi, konsistensi, kelengkapan dan aktualitas, maka data dapat dikatakan tidak mumpuni untuk mendukung kebijakan yang diambil.
"Permasalahan kualitas data inilah yang sering kali diabaikan di Indonesia," kata Wiku yang juga koordinator "Indonesia One Health University Network" itu.
Salah satu contoh permasalahan konsistensi data dapat dilihat pada data kesehatan yang memiliki periode dokumentasi yang berbeda-beda.
Padahal, menurut UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, data terkait badan publik, kegiatan dan kinerja, serta laporan keuangan wajib untuk disampaikan oleh instansi terkait minimal enam bulan sekali.
Khusus untuk data kesehatan, menurut Kepmenkes No. 116 Tahun 2003 seharusnya setiap pemerintah tingkat kota/kabupaten hingga nasional mengeluarkan satu profil kesehatan setiap tahunnya sesuai cakupan pemerintahan.
Sementara itu Desrina Sitompul, "projec officer Disease Emergence and Economics Evaluation of Altered Landscapes (DEAL)" yang merupakan proyek penelitian dari INDOHUN dan USAID menyatakan bahwa ketersediaan, akses, serta kelengkapan data menjadi catatan penting dalam pelaksanaan penelitian ini.
Kesenjangan kualitas data disebabkan oleh perbedaan kapabilitas petugas yang terlibat dalam seluruh proses pengelolaan sistem informasi kesehatan.
Untuk itu, selain melakukan penelitian, DEAL juga mengadakan peningkatan kapasitas bagi peneliti internal maupun peneliti di universitas lokasi penelitian," ujar Desrina.
DEAL adalah studi yang meneliti dampak negatif akibat perubahan lahan hutan terhadap kesehatan masyarakat. Penelitian DEAL diharapkan dapat menjadi landasan perumusan kebijakan terkait pemanfaatan hutan. Melalui kegiatan peningkatan kapasitas penelitian yang dilakukan oleh DEAL, diharapkan kesenjangan pengetahuan dan kemampuan antar peneliti dapat diminimalisasi serta meningkatkan kemampuan penelitian secara komprehensif.
Peningkatan kapasitas peneliti juga harus diimbangi dengan peran pemangku kebijakan tiap instansi untuk membuat regulasi standar data dan metadata baku agar tidak terjadi perbedaan data seperti kasus yang terjadi pada polemik impor beras.
Menurut Desrina, integrasi data dapat dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dengan publikasi data melalui satu portal, yaitu dapat melalui portal BPS sendiri atau 'Satu Data Indonesia" seperti data.gov milik Pemerintah Amerika Serikat maupun data.gov.au milik Pemerintah Australia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Clara Aprilia Sukandar
Tag Terkait: