Perubahan teknologi yang pesat dalam revolusi industri 4.0 telah mendorong perkembangan berbagai fenomena seperti ekonomi berbagi (sharing economy) di masyarakat mulai dari kegiatan ekonomi berbasis peer-to-peer (P2P) hingga business-to-business (B2B). Fenomena ini telah terjadi dan jika kita tidak siap, akan berdampak disrupsi di berbagai industri seperti keuangan, media, akomodasi, telekomunikasi, transportasi, perdagangan dan sebagainya.
Fenomena-fenomena ini juga menciptakan tantangan baru bagi regulator keuangan mengenai bagaimana melakukan mitigasi risiko dan pengawasan terhadap pemain baru dari berbagai jenis kegiatan.
"Dengan adanya perubahan ini, maka lembaga-lembaga jasa keuangan di Indonesia harus 'keep up' terhadap perubahan dan terus berinovasi serta berkolaborasi dalam menciptakan nilai tambah bagi masyarakat, mendukung inklusi dan stabilitas keuangan," ujar Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida, di Jakarta, Selasa (13/11/2018).
Dia menjelaskan, menanggapi perubahan yang terjadi, salah satu respons Pemerintah adalah dengan membangun 5 sektor manufaktur dengan daya saing regional serta menerapkan 10 prioritas nasional dalam inisiatif ?Making Indonesia 4.0?. 5 sektor prioritas dimaksud yaitu: makanan minuman, otomotif, tekstil, elektronik dan kimia.
Adapun 10 prioritas nasional ini antara lain (1) Perbaikan alur aliran barang dan material, (2) Desain ulang zona industri, (3) Mengakomodasi standar-standar keberlanjutan, (4) Memberdayakan UMKM, dan (5) Membangun infrastruktur digital. Implementasi ?Making Indonesia 4.0? diperkirakan akan membawa dampak positif terhadap perekonomian dan peluang kerja.
"Inisiatif ?Making Indonesia 4.0? ini tentunya memerlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak, terutama dari Lembaga Jasa Keuangan dan perusahaan rintisan (financial technology). OJK sangat menyadari bahwa sinergi yang terjadi dalam sektor jasa keuangan amat penting. Oleh karena itu, OJK sebagai regulator berperan aktif dalam melakukan harmonisasi kegiatan yang ada di sektor jasa keuangan," jelasnya.
Untuk itu, OJK mendorong kolaborasi antara lembaga jasa keuangan dengan penyelenggara inovasi keuangan digital agar tercipta sinergi dalam mendorong ekonomi, memberdayakan UKM melalui akses modal yang lebih fleksibel dan lebih mudah serta mampu memutar roda ekonomi lebih cepat dan lebih besar, menciptakan lapangan kerja baru dan pengentasan kemiskinan.
"Kita melihat bagaimana perbankan dan perusahaan pembiayaan telah bekerjasama dengan perusahaan fintech, untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor produktif. Ini merupakan bentuk kolaborasi yang positif, namun tetap perlu dilakukan secara hati-hati dengan mengedepankan aspek pengelolaan risiko serta perlindungan konsumen," paparnya.
OJK juga mendukung perkembangan teknologi digital baik di perbankan, pasar modal, dan IKNB, yang tentunya akan semakin memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan keuangan. Digital banking, online trading maupun insurtech ke depan akan semakin marak seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan masyarakat akan ?seamless experience? dalam mengakses layanan sektor jasa keuangan.
Untuk itu OJK berperan dalam membangun kerangka peraturan dan pengawasan yang didasarkan pada perilaku pasar dan disiplin pasar, tata kelola mandiri, dan mengarah pada pembentukan organisasi pengaturan diri untuk memberikan fleksibilitas ruang inovasi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip Transparansi, Akuntabilitas, Tanggung Jawab, Kemandirian dan Keadilan.
Beberapa aturan sudah dikeluarkan, diantaranya adalah POJK No.77 tahun 2016 tentang Layanan Peer to Peer Lending dan POJK No.13 tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital. Peraturan ini diharapkan dapat menghasilkan pengawasan, perizinan, perlindungan konsumen dan penetrasi inklusi keuangan yang lebih baik untuk fintech sehingga sinergi dengan lembaga jasa keuangan dapat tercipta dengan lebih baik.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: