- Home
- /
- Kabar Finansial
- /
- Bursa
Disrupsi, Fintech Pasar Modal dan Déjà vu Deregulasi Perbankan Era '80-an
Tren perkembangan sekaligus pemanfaatan teknologi di berbagai sektor industri terus menjadi perbincangan. Gelombang yang lebih ngetren dengan istilah era teknologi 4.0 itu dengan serta-merta ?melabrak? kemapanan kinerja berbagai bisnis yang masih berjalan konvensional. Tak terkecuali di industri jasa keuangan dan pasar modal nasional.
Baca Juga: Kala E-Commerce Mulai Mendisrupsi Bisnis Mayora
Berbagai layanan rintisan (startup) di bidang keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech) melalui ponsel kini semakin jamak ditemukan, mulai dari layanan pinjaman (peer to peer kredit), investasi hingga sistem pembayaran (payment system).
Mencoba menengok ke belakang, tren mewabahnya fintech ini seolah mengulang atau bahkan d?j? vu dengan kondisi di sektor perbankan pada tahun 1988 silam ketika pemerintah saat ini mengeluarkan kebijakan Paket Deregulasi Perbankan.
Betapa bila sebelumnya syarat pendirian sebuah bank demikian ketat, dengan aturan baru tersebut semua orang dengan hanya bermodal Rp10 miliar saja sudah bisa mendirikan bank sendiri. Sekitar lima tahun berjalan, jumlah bank saat itu seketika melonjak dua kali lipat hingga mencapai 240 bank.
Sama dan sebangun, kini pun tak perlu menjadi konglomerat untuk seseorang bisa turut bermain di bisnis fintech. Cukup bermodal Rp100 juta dengan mempekerjakan beberapa programmer plus ruangan kantor yang juga bisa disiasati dengan bekerja dari rumah atau coworking space, bisnis fintech sudah bisa mulai dijalankan.
Baca Juga: Hadapi Disrupsi Digital, Mandiri Sekuritas Buka Aliansi dengan E-Commerce
Sayang dengan peluang yang demikian besar, di tengah berkembang pesatnya layanan fintech di industri jasa keuangan lain, tren serupa di sektor pasar modal justru relatif masih ?adem-ayem?.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), layanan fintech dengan kualifikasi agen penjual reksadana sejauh ini masih sebatas tujuh pemain saja. Mereka adalah Bareksa.com, Tanamduit.id, Bibitnomic.id, Moduit.id, Supermarketreksadana.com, Ajaib.co.id dan xdana.com. Di luar itu, beberapa pemain baru juga mulai menempa diri seperti Invisee dan juga Investamart.
Namun, dengan masih asingnya nama-nama tersebut di telinga, hampir bisa disimpulkan bahwa penetrasi bisnisnya di masyarakat juga masih sangat terbatas.
?Ya memang kalau dibandingkan dengan layanan fintech di sektor lain, seperti perbankan, asuransi, layanan kredit, payment system dan lain-lain, pasar modal memang agak berbeda ya. Kurang apple to apple juga kalau dibandingkan. Enggak usah ngomong fintechnya, di industri pasar modalnya sendiri saja kan memang masih terbatas karena masyarakat kita kan masih relatif kurang familiar juga soal investasi, khususnya di saham atau reksadana,? ujar Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas, Silvano Rumantir, kepada Warta Ekonomi, beberapa waktu lalu.
Meski demikian, Silvano meyakini, booming tren investasi di industri pasar modal boleh dibilang tinggal menunggu waktu saja dan bakal segera terjadi dalam tempo yang tidak terlalu lama. Klaim tersebut didasarkannya pada pertumbuhan transaksi saham dengan menggunakan layanan online. Hal ini juga diperkuat dengan makin banyaknya perusahaan sekuritas yang menurunkan nilai minimal investasi yang dipersyaratkan untuk membuka satu akun saham.
?Sekarang kan hanya bermodal ratusan ribu orang sudah bisa transaksi saham. Ini jauh berbeda dengan dulu di mana untuk buat akun saham saja perlu sekian juta. Nah ini jelas akan membantu. Dan jangan lupa, minat investasi generasi millennial itu tinggi. Simpel saja, mereka itu rela ngirit untuk ngumpulin duit agar di akhir tahun bisa jalan-jalan ke luar negeri. Artinya mereka mau invest untuk dapatkan target keinginan mereka. Dengan sudah ada habbit positif begini, untuk mengajak mereka investasi saham jauh lebih mudah,? tegas Silvano.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Clara Aprilia Sukandar
Tag Terkait: