Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di industri baja yakni PT Krakatau Steel (Persero) Tbk mengalami penurunan pendapatan sebesar 13,82% pada Triwulan pertama 2019.
Dalam periode ini perseroan berkode Saham "KRAS", mencatatkan pendapatan sebesar US$419 juta. Padahal di periode yang sama tahun lalu, Krakatau Steel meraup pendapatan US$486,2 juta.
Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim mengatakan, torehan negatif ini akibat dari penurunan volume penjualan dan penurunan harga produk baja secara global.
Baca Juga: Nasib Krakatau Steel: Rugi Menahun Boleh, Delisting dari BEI? Belum Tentu!
Harga HRC per ton tertinggi tercapai US$755 di Januari 2019 dan terendah US$554 di bulan Maret 2019 walaupun secara keseluruhan harga HRC berkisar antara US$650 ? US$700 pada Q1 2019.
Walaupun secara umum terjadi penurunan volume penjualan 11,97% year on year (yoy) menjadi 529.114 ton, termasuk diantaranya penurunan volume penjualan Cold Rolled Coil (CRC) 35,67% YoY menjadi sebesar 103.219 ton dan penurunan volume penjualan Wire Rod 77,30% YoY menjadi 8.644 ton, namun volume penjualan HRC meningkat 8,11% YoY sebesar 355.546 ton.
Fokus penjualan Krakatau Steel memang akan diprioritaskan pada produk HRC terlebih dengan akan segera beroperasinya pabrik Hot Strip Mill #2 (HSM#2). Penurunan volume penjualan ini pun diiringi dengan penurunan harga jual produk termasuk HRC 2,24% YoY menjadi US$643 per ton dan Wire Rod 3,14% YoY menjadi US$612 per ton, namun tidak demikian dengan CRC yang meningkat 5,13% menjadi sebesar US$739 per ton.
Penurunan penjualan ini berpengaruh pada laba kotor sebesar US$11,75 juta, menurun dibanding periode sebeleumnya sebesar US$66,79 juta. Sementara rugi operasi Perseroan mencapai US$36,2 juta pada Q1 2019 dibanding dengan periode yang sama tahun lalu yang mencatat laba operasi US$21,2 juta. Penurunan kinerja operasi ini dipengaruhi oleh lebih tingginya biaya operasi selama periode berjalan.
?Kami akan terus menggenjot volume penjualan baja domestik diiringi peningkatan target untuk ekspor produk baja mulai tahun ini, terlebih Indonesia saat ini dapat dengan leluasa mengekspor produk baja ke Malaysia. Semoga peningkatan target eskpor ke beberapa negara dan kerja sama steel trading dengan beberapa rekanan dapat membantu menaikkan volume penjualan di tahun 2019 ini,? tambahnya.
Kondisi dan situasi pasar mulai kondusif dengan adanya peningkatan harga produk material baja di pasar masing-masing negara. Namun ?Era Proteksionisme? global pada industri baja saat ini menjadi sebuah tantangan tersendiri yang juga harus dihadapi.
?Dengan kebijakan perdagangan yang mulai berpihak pada pasar domestik dan dengan adanya peningkatan pendapatan Anak Perusahaan maupun afiliasi setelah restrukturisasi Anak Perusahaan Perseroan, maka kami yakin kondisi ini akan berangsur pulih dan kami dapat kembali memperbaiki kinerja kami,? jelas Silmy.
Sebagai catatan, dari Januari hingga Desember 2018, permintaan produk baja di Indonesia cenderung meningkat dengan adanya peningkatan di sektor industri yang menggunakan material baja. Diantaranya sektor otomotif yang meningkat 7.99% dengan jumlah produksi mobil sebesar 1.152.641 unit per tahun (Gaikindo, Januari 2019). Hal ini diikuti dengan sektor konstruksi dan infrastruktur yang juga diproyeksikan akan semakin meningkat di tahun 2019.
Silmy Karim menyatakan akan memperbaiki keadaan ini segera dengan strategi Transformasi Bisnis dan Keuangan yang saat ini sudah mulai berjalan.
?Kami harap dalam waktu dekat sudah mulai kelihatan hasilnya dan kondisi ini bisa berbalik menjadi lebih baik,? pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Kumairoh