Politikus PAN, Dradjad Wibowo, menyarankan pemerintah untuk mengerem kenaikan utang, baik utang luar negeri maupun obligasi dalam negeri. Rasio penerimaan pajak diperkirakan terlalu terlalu rendah terhadap PDB.
"Jangan hanya melihat profil utang dari sisi rasio utang, yaitu jumlah utang sebagai rasio terhadap PDB. Untuk Indonesia, rasio ini kurang lengkap menggambarkan posisi yang sesungguhnya. Kenapa? Karena rasio penerimaan pajak kita terhadap PDB terlalu rendah,? katanya dalam pesan whatsapp kepada republika.co.id, Selasa (18/6/2019).
Baca Juga: Malu, PAN Malu dengan Tingkah Faldo Maldini
Padahal, lanjut Dradjad yang ekonom INDEF, pajak adalah sumber utama penerimaan negara, yang kemudian menjadi cerminan dari kemampuan Indonesia membayar utang pemerintah. Maksudnya di sini, kata Dradjad, membayar utang tanpa harus mengorbankan terlalu banyak program yang lain dan atau menambah terlalu banyak utang baru.
Dradjad mencontohkan, tahun 2019. Pagu pembayaran bunga utang pemerintah dalam APBN adalah Rp275,8 triliun. Pembayaran pokok utang pemerintah Rp409 triliun. Jadi totalnya Rp 685 triliun.
Target penerimaan perpajakan, termasuk cukai, dalam APBN 2019 adalah Rp1786,4 triliun. Sementara target pendapatan negara Rp2165,1 triliun.
"Artinya, pembayaran pokok dan bunga utang pemerintah memakan 38,3% dari penerimaan perpajakan, atau 31,6% dari pendapatan negara,? papar politikus senior ini.
Baca Juga: Emiten Tambang Grup Bakrie Tak Bagi Dividen, Mau Nyicil Bunga Utang Dulu
Pembayaran pokok dan bunga utang di atas, papar Dradjad, jauh lebih besar dari anggaran pendidikan Rp492,5 triliun, anggaran infrastruktur Rp415 triliun dan anggaran kesehatan Rp123,1 triliun.
"Bahkan jika anggaran pendidikan dan kesehatan digabung, jumlahnya hanya Rp615,6 triliun. Atau kalah Rp69 triliun dari pembayaran pokok dan bunga utang,? kata Dradjad.
Jadi, kata Dradjad, terlihat jelas betapa besar utang memakan jatah yang semestinya bisa dipakai untuk program lain. Misalnya untuk melunasi semua utang BPJS Kesehatan kepada rumah sakit.
"Itu yang saya sebut sebagai biaya oportunitas (opportunity cost) dari pembayaran utang, pokok dan bunganya. Opportunity cost ini sudah terlalu besar. Bahkan kita pun terpaksa berutang lagi dan berutang lagi untuk membiaya APBN,? ungkapnya.
Ditambahkannya, utang swasta trennya sudah wajib diwaspadai. Jangan sampai utang luar negeri swasta dan juga BUMN, menjadi tidak terkendali, yang dapat meningkatkan country risks Indonesia dengan signifikan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil