Kejatuhan harga minyak sawit mentah (CPO) yang terjadi hingga dewasa ini menjadi alarm bagi pertumbuhan industri sawit nasional. Tak hanya berpotensi merusak tatanan bisnis semata, melainkan dapat pula merusak perawatan hingga pokok tanaman sawit itu sendiri.
Di sisi lain, tuntutan pasar akan minyak sawit berkelanjutan terus bertumbuh, seiring tumbuhnya populasi dunia. Kabar terbaru dari Bursa Pasar Derivatif Malaysia baru-baru ini, menggambarkan kejatuhan harga CPO yang sangat curam. Kondisinya, hampir mendekati level harga terendah pada 30 November tahun lalu, dengan harga sebesar RM1.970 per ton.?
Pada minggu kedua Mei lalu, harga CPO penerimaan Juli 2019 kembali menurun hingga RM1.983 atau sekitar US$475 per ton, dengan menggunakan kurs US$1 = RM4,17.
Kejatuhan harga ini juga sebagai bagian dari sentimen negatif akan terjadinya perang dagang antara Amerika Serikat dan China, yang berujung pada pengenaan pajak ekspor bagi produk-produk China yang masuk ke pasar AS.
Baca Juga: Industri Sawit RI Juga Hadapi Tantangan Produktivitas
Deputi Menko Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Musdhalifah Machmud mengatakan, pihaknya sedang melakukan proses perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit dengan menerapkan berbagai cara, salah satunya dengan memperbaiki pola budi daya yang dilakukan petani lewat program peremajaan sawit rakyat.
Program ini bertujuan selain untuk meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat, juga guna melakukan pendataan luasan lahan petani.
"Data pekebun saat ini penting. Kami sedang melakukan kerja sama dengan lembaga terkait, seperti BIG dan kementerian terkait," kata dia di sela FGD Sawit Berkelanjutan: Diskusi Sawit Bagi Negeri Vol 3 bertema Peluang Pasar Sawit Berkelanjutan Indonesia yang diadakan majalah InfoSawit di Jakarta, Rabu (7/8/2019).
Ditambahkan Musdhalifah, merujuk informasi dana hibah untuk program peremajaan sawit rakyat hingga 2019, sebanyak 28.276 ha telah mendapatkan dana PSR, lantas sekitar 39.989 ha dalam proses penyaluran dana PSR di BPDPKS, dan sejumlah 16.960 ha dilakukan verifikasi bertahap melalui aplikasi PSR.
Selain penerapan peremajaan sawit rakyat, komitmen pemerintah terhadap lingkungan juga dilakukan, misalnya dengan penerapan kebijakan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), yang semenjak 2011 sampai 2019 realisasi perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi ISPO seluas 4.115.434 ha atau 29,3% dari total lahan perkebunan kelapa sawit seluas 14,3 juta ha.
Baca Juga: Wow! Ekspor Sawit Indonesia ke Rusia Berpotensi Capai 1,1 Juta Ton
Sedangkan produksi CPO yang telah tersertifikasi ISPO mencapai 11,57 juta ton CPO atau 31% dari total produksi CPO 37,8 juta ton per ha.
Menurut Managing Director Sustaiability and Strategic Stakeholder Engagement Golden Agri Resources Ltd, Agus Purnomo, tekanan terhadap sektor perkebunan kelapa sawit bisa dibagi dalam tiga kelompok.
Pertama, dari pemerintah salah satunya berupa muculnya kebijakan RED II dari Uni Eropa serta hambatan dagang lainnya. Lalu, dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) berupa isu deforestasi, hak asasi manusia, dan sosial serta limbah.
"Kelompok ketiga datang dari konsumen, berupa isu kesehatan yang kembali dihembuskan," katanya.
Lebih lanjut, kata Agus, namun di beberapa negara mulai muncul kesadaran dalam memproduksi minyak sawit berkelanjutan, seperti inisiasi yang dilakukan India dengan Sustainable Palm Oil Coalition for India (India-SPOC) dan Jepang.
Kondisi demikian membuka peluang dalam pemasaran minyak sawit berkelanjutan. Dengan potensi itu, kata Agus, pihaknya terus memproduksi komoditas sawit yang berkelanjutan. Cara yang dilakukan ialah dengan pendekatan bantuan teknis dan insentif keuangan untuk program peremajaan kebun sawit yang dikelola petani swadaya.
"Kami mendukung misi pemerintah Indonesia untuk meremajakan 200.000 ha lahan perkebunan rakyat," katanya.
Untuk dukungan itu, pihak perusahaan menetapkan target dukungan sebesar 17,5% (35.000 ha) dari target tersebut, melalui program peremajaan petani di sekitar kebun, meningkatkan produktivitas petani sebesar 5-6 ton CPO per ha per tahun, serta menciptakan proses produksi dan konsumsi yang berkelanjutan melalui kerja sama multipihak (SDG 12 and 17).
Baca Juga:?Emiten Sawit Jual Entitas Anak Rp350 Miliar, Alasannya Bikin Miris!
Imam A El Marzuq dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mengungkapkan, produsen minyak sawit berkelanjutan di dunia dikuasai oleh tiga produsen, yakni Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Dalam skema produksi Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) yang diterapkan pada RSPO, tidak hanya berfokus memaksimalkan produksi, tetapi juga melibatkan preservasi dan proteksi lingkungan. Saat ini Indonesia dan Malaysia masih menjadi produsen utama minyak sawit berkelanjutan.
"Indonesia mencerminkan para pengusaha perkebunan termasuk pekebun kecil dan skema kemitraan dan swadaya terus bergulir di lapangan, kendati ada hantaman dari berbagai sisi. Ini membuktikan keunggulan minyak sawit Indonesia masih teruji," kata Imam.
Lebih lanjut, kata Imam, pada 2023 RSPO menargetkan produksi minyak sawit berkelanjutan di dunia bisa mencapai 23 juta ton, serta mendorong penyerapan minyak sawit berkelanjutan di dunia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti