Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar meragukan wacana Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berencana menghukum mati koruptor. Ia menilai wacana tersebut hanya gaya semata. Sebab, saat ini Jokowi tidak pro pemberantasan korupsi.
Merujuk grasi Jokowi kepada mantan Gubernur Riau, Annas Maamun yang terpidana kasus korupsi. Ia menilai kebijakan grasi dengan wacana hukuman mati koruptor saling bertentangan. Karena itu, ia menyebut Jokowi bersikap ambivalen.
"Pak Jokowi telah membuka peluang untuk penerapan hukuman mati kepada koruptor, tapi di sisi lain dia juga memberikan grasi kepada koruptor," ujarnya kepada wartawan, Rabu (11/12/2019).
Baca Juga: Dukung Wacana Hukuman Mati, Gerindra: Rakyat yang Mana Pak Jokowi?
Baca Juga: Serang Jokowi Lagi, Rocky Gerung: Dia Gak Cocok Sebagai Presiden, Buruk!
Lanjutnya, "Tidak jelas arahnya, jangan-jangan komitmen terhadap pemberantasan korupsi pun begitu. Buktinya pak Jokowi setuju UU KPK direvisi dan KPK dilemahkan," ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengaku sangat disayangkan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebut hukuman mati diberlakukan dalam keadaan tertentu, seperti bencana alam nasional.
"Sehingga harus dipenuhi unsur kondisi tertentu yaitu residivis (pengulangan tindak korupsi), bencana alam atau keadaan perang. Kondisi ini jarang ditemui," terangnya.
Menurut dia, hukuman yang paling efektif bagi koruptor adalah dengan pendekatan asset recovery. Dengan cara, mengambil harta koruptor atau memiskinkan koruptor.
"Ini akan lebih membuat jera ketimbang hukuman mati. Dalam diksi populer disebut pemiskinan koruptor," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil