Bupati nonaktif Lampung Tengah Mustafa telah divonis 3 tahun penjara oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta akibat kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 silam.
Baca Juga: Kejagung Tahan 5 Tersangka Korupsi Jiwasraya, Said Didu: Perampokan di BUMN Bakal Mulus Jika..
Mustafa terbukti menyuap beberapa anggota DPRD Lampung Tengah sejumlah Rp 9,6 miliar. Penyuapan itu dilakuan bersama-sama Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah, Taufik Rahman.
Sejumlah anggota DPRD Lampung Tengah periode 2014-2019 yang disebut menerima suap yakni, Natalis Sinaga, Rusliyanto, Achmad Junaidi Sunardi, Raden Zugiri. Kemudian, Bunyana dan Zainuddiin.
Ketika sedang menjalankan masa tahanannya Mustafa meminta izin lembaga Pemasyarakatan untuk keluar menjenguk orang tuanya yang sedang sakit keras. Saat menjenguk orang tuanya, Mustafa membuat pernyataan kalau anggota DPR RI Azis Syamsudin meminta fee 8 persen dari persetujuan Dana Alokasi Khusus APBN- P 2017.
Terkait pernyataan Mustafa tersebut, Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring (IDM) Fahmi Hafel mengatakan, apa yang dikatakan Mustafa tidak nyambung dengan perkara hikum yang dijalani.
"Ini jelas merupakan pernyataan Mustafa yang tidak nyambung dengan perkara hukum yang sudah di jalani," kata Fahmi di Jakarta.
Fahmi menjelaskan, kasus Mustafa adalah terkait suap kepada anggota DPRD Lampung Tengah. Terkait pemberian uang tersebut bertujuan agar anggota DPRD memberikan persetujuan terhadap rencana pinjaman daerah Kabupaten Lampung Tengah kepada PT Sarana Muti Infrastruktur (Persero) sebesar Rp 300 miliar pada tahun anggaran 2018.
"Jadi pernyataan Mustafa bisa dianggap sebagai angin lalu atau pernyataan yang dibuat-buat, karena peristiwa hukum saja berbeda dan dalam penyaluran DAK 2017 Lampung Tengah tidak ada peristiwa hukum tindak pidana," ujar Fahmi.
"Jadi apa yang dikatakan Mustafa bisa jadi hanya omong kosong dan tidak masuk dalam peristiwa tindak pidana korupsi," sambungnya.
Sebab, Fahmi menjelaskan, pada Pasal 189 ayat (2) KUHAP berbunyi:
'Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya'.
"Nah ini kasus yang di didakwakan pada Mustafa tidak ada hubungannya dengan pengucuran DAK APBN-P 2017," sebutnya.
Dengan begitu, lanjut Fahmi, keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang seperti yang dilakukan Mustafa tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Oleh karena itu, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Akan tetapi, dapat dipergunakan ?membantu? menemukan bukti di sidang pengadilan. Dengan catatan, keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang ada hubungannya mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
"Sedangkan Mustafa bukan lagi berstatus Terdakwa tetapi sudah berstatus narapidana," terangnya.
"Jadi apa yang dilaporkan Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) ke KPK terkait pernyataan Mustafa sudah salah kaprah dan tidak pada tempatnya," tandasnya.
Diketahui, sebelumnya Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) melaporkan Wakil Ketua DPR RI Fraksi Golkar, Azis Syamsuddin ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Laporan tersebut bersandar pada keterangan Mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa yang menyebut Azis meminta fee 8 persen dari persetujuan Dana Alokasi Khusus APBN- P 2017.
Tak hanya ke KPK, KAKI juga melaporkan Azis ke Mahkamah Kehormatan DPR RI (MKD).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: