Debat Dewas TVRI vs DPR soal Helmy Dipecat: 'Tak Ada Aturannya DPR Mencampuri Urusan Perusahaan'
Dewan Pengawas (Dewas) Televisi Republik Indonesia (TVRI) merasa tak terima apabila dipengaruhi secara politik untuk menganulir keputusan pemecatan dan mengangkat kembali Helmy Yahya menjadi Direktur Utama TVRI.
Baca Juga: Di bawah Helmy, Gaji Karyawan Telat, Dewas: Kami Setuju Diaduit
"Lucu ya, saya yang enggak bisa terima itu lho, yang membuat aturan harus menganulir aturan. Kan lucu. Ketawa masyarakat nanti," kata Made Ayu Dwie Mahenny, Dewas TVRI, usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi I DPR RI, di Jakarta, Selasa.
Made merujuk pada pernyataan sejumlah anggota Komisi I DPR RI yang meminta agar Helmy Yahya dihadirkan kembali dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama TVRI dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR berikutnya kendati yang bersangkutan telah diberhentikan oleh Dewas TVRI.
Di antara yang menyuarakan pendapat tersebut adalah anggota Komisi I DPR RI Effendy Simbolon, Taufiq Abdullah, dan Yan Parmenas Mandenas.
Made berpandangan tidak masalah Helmy dihadirkan dalam RDPU Komisi I DPR RI berikutnya. Hanya saja, keinginan sejumlah anggota Komisi I DPR RI agar Helmy menjadi Dirut TVRI kembali berarti melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku.
"Terus buat apa kewenangannya dikasih ke kami. Kami diangkat sebagai dewas kan dengan aturan itu. Nah, sekarang hak kami diambil dan beliau-beliau yang mengangkat kan menurunkan derajatnya sendiri dong," kata Made.
Senada dengan Made, Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin berpandangan pengangkatan Direktur Utama TVRI menjadi kewenangan yang dimiliki Dewan Pengawas TVRI berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005.
"Bahwa kewenangan mengangkat dan memberhentikan Dirut ada di Dewas TVRI, sehingga DPR RI sekali pun tidak ada dasar hukumnya untuk mencampuri perusahaan," kata Arief.
Arief menambahkan bahwa hari ini Dewas TVRI hadir lengkap berlima untuk memberi penjelasan kepada Komisi I DPR RI tentang surat keputusan pemberhentian Helmy Yahya beserta alasan pelanggaran yang ada.
"Substansi sudah dibahas, tentang pelanggaran peraturan berdasarkan PP 13/2005 pasal 24, kemudian ada unsur kerugian lembaga, ada in-koordinasi, tentang inefisiensi, dan ada soal tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang sudah agak menyimpang dengan banyaknya program dari luar negeri," kata Arief pula.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: