Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Dari Jualan Permen Keliling, Perjuangan Eka Tjipta Widjaja Jadi Bos Besar Kelapa Sawit Tidak Mudah

        Dari Jualan Permen Keliling, Perjuangan Eka Tjipta Widjaja Jadi Bos Besar Kelapa Sawit Tidak Mudah Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Hidup serba susah pernah dirasakan oleh seorang Eka Tjipta Widjaja. Namun kini, ia dikenal sebagai seorang pengusaha dan konglomerat Indonesia yang mendirikan Sinar Mas Grup dari nol.

        Eka merupakan orang yang ulet dan tekun dalam menjalankan bisnis perusahaannya. Dilansir dari berbagai sumber, kesuksesan Eka Tjipta Widjaja sebagai pendiri Sinar Mas, tak langsung melewati perjalanan yang singkat. Banyak lika-liku kehidupan yang ia hadapi sejak masih muda.

        Baca Juga: Kisah Sukses Soedono Salim, Pendiri Bogasari Hingga Indomaret yang Dijuluki 'Raja Dagang Indonesia'

        Eka Tjipta dilahirkan dari keluarga miskin di Fujian, daerah yang terletak di China. Pada tahun 1931, bersama ibunya ia bermigrasi ke Makassar, Sulawesi Selatan untuk menyusul ayahnya yang terlebih dahulu migrasi.?

        Dalam usia 9 tahun ia merantau bersama sang ibu menyusul ayahnya yang sudah terlebih dahulu memiliki toko kecil di Makassar.

        Dua tahun membantu ayahnya, toko yang mereka jalani berkembang maju dan mampu membayar hutang. Penghasilan yang sudah cukup membaik, membuat Eka ingin bersekolah.

        Saat itu, Eka masih dipanggil Oei Ek Tjhong, namun sayang ia hanya mampu menyelesaikan pendidikan hingga sekolah dasar, ia tidak melanjutkan pendidikannya lagi karena masalah ekonomi. Masalah hutang oleh rentenir masih menjadi beban berat bagi keluarganya.

        Ia mulai berjualan keliling di kota Makasar dengan sepedanya. Berjualan dari pintu satu ke pintu yang lain dengan menawarkan permen, biskuit dan barang lainnya di toko milik ayahnya.

        Di usia 15 tahun, ia pun menjadi pemasok kembang gula dan biskuit dengan sepedanya yang melewati hutan-hutan karena jalanan tidak sebagus saat ini. Hasil yang ia dapat pun sebesar Rp20. Saat itu sudah lumayan karena harga beras masih sekitar 4 sen.

        Saat semua berjalan lancar, ia pun membeli becak agar barang muatannya semakin banyak. Sayangnya tak berapa lama Jepang datang ke Makassar, usahanya pun hancur total dan ia menganggur.

        Di tengah harapan yang nyaris putus, Eka mengayuh sepeda bututnya keliling Makassar. Sampai suatu ketika ia tiba di Paotere, sebuah tempat di pinggir Makassar pangkalan kapal untuk ke Jawa. Di sana ia melihat banyak barang-barang dan bahan pokok yang diangkut serta banyak tentara Jepang yang menjaga.

        Akhirnya ia memiliki ide untuk berjualan makanan dan minuman untuk para tentara di kawasan itu.

        Sejak saat itu ia mulai berjualan bahan-bahan pokok seperti terigu, arak Cina bahkan semen. Ia juga mulai berlayar ke Selayar (Sulawesi Selatan) untuk mencari bahan-bahan yang bisa dijual.

        Keesokan harinya, sejak pukul empat subuh, Eka sudah di Paotere. Ia membawa serta kopi, gula, kaleng bekas minyak tanah yang diisi air, oven kecil berisi arang untuk membuat air panas, cangkir, sendok dan sebagainya.

        Alat itu ia pinjam dari ibunya. Enam ekor ayam ayahnya pun ikut ia pinjam. Ayam itu dipotong dan dibikin ayam putih gosok garam. Dia juga pinjam satu botol wiskey, satu botol brandy dan satu botol anggur dari teman-temannya. Jam tujuh pagi, ia sudah siap jualan.

        Benar saja, ketika pukul tujuh, 30 orang Jepang dan tawanan Belanda mulai datang bekerja. Tapi sampai pukul sembilan pagi, tidak ada pengunjung. Eka memutuskan mendekati bos pasukan Jepang. Eka mentraktir si Jepang makan minum di tenda.

        Setelah itu, semua anak buahnya dan tawanan diperbolehkan makan minum di tenda Eka. Tentu saja ia minta izin mengangkat semua barang yang sudah dibuang.

        Segera Eka mengerahkan anak-anak sekampung mengangkat barang-barang itu dan membayar mereka 5 ? 10 sen. Semua barang diangkat ke rumah dengan becak.

        Meski kerap jatuh bangun dengan usahanya, hingga pada tahun 1980, ia pun mulai berbisnis dengan membeli sebidang perkebunan kelapa sawit di Riau dan pabrik beserta mesinnya. Selang setahun bisnisnya berjalan lancar dan ia membeli perkebunan teh sekaligus pabriknya.

        Dalam bisnis perbankan, Eka mulai dengan membeli Bank Internasional Indonesia yang kemudian berkembang pesat hingga memiliki 40 cabang yang dulunya hanya 2 cabang saja. Aset yang ia dapat mencapai Rp 9,2 triliun. Ia kemudian membeli PT Indah Kiat yakni sebuah pabrik kertas.

        Kini, semua usaha yang dirintisnya itu pun berada di bawah naungan kelompok usaha Sinar Mas.

        Tahun 2018, Eka Tjipta Widjaja masuk ke dalam orang terkaya nomor tiga di Indonesia oleh Majalah Forbes. Kekayaannya saat itu tercatat mencapai USD 8,6 miliar atau Rp 121,1 triliun.

        Hingga Sabtu, 26 Januari 2019 tahun lalu, Eka Tjipta Widjaja pun tutup usia pada usia 98 tahun. Namun, perjuangan dan perjalanan hidupnya mampu memotivasi banyak orang sampai saat ini.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajria Anindya Utami
        Editor: Fajria Anindya Utami

        Bagikan Artikel: