Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Polusi Udara Diyakini Tingkatkan Risiko Kematian pada Pasien Corona, Benarkah Demikian?

        Polusi Udara Diyakini Tingkatkan Risiko Kematian pada Pasien Corona, Benarkah Demikian? Kredit Foto: Antara/M Risyal Hidayat
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Dua faktor risiko utama yang diketahui meningkatkan peluang pasien akibat serangan virus corona meninggal adalah; usia lanjut dan lemahnya kekebalan tubuh. Polusi udara diyakini jadi faktor penyebab melemahnya kekebalan tubuh.

        “Jika kita hidup di kawasan polusi udara, paru-paru kita bereaksi seperti pada perokok. Artinya kita lebih rentan terhadap virus corona“, ujar Said Kofi Amegah, pakar epidemiologi dan air polusi udara di University of Cape Coast, Ghana, dikutip dari DW, Rabu (8/4/2020).

        Baca Juga: Di Balik Gegernya Virus Corona, NASA Temukan Fakta Polusi Udara di China Menurun Drastis

        Polusi udara menyebabkan lebih 7 juta kematian tiap tahunnya, demikian laporan WHO. Ini juga membuat wabah Covid-19 lebih mematikan. Karena pencemaran udara berkontribusi pada kondisi kesehatan kronis, yang membuat pasien lemah dalam menghadapi infeksi.

        Risiko naik dua kali lipat

        Aliansi kesehatan publik Eropa pekan lalu menyatakan, pencemaran udara diprediksi mengurangi kemungkinan tetap hidup dari serangan virus corona. Riset dari wabah sebelumnya juga menunjukkan, polusi udara membuat virus makin mematikan dan menyebar makin cepat.

        Riset terhadap korban wabah SARS pada tahun 2003 menunjukkan, kemungkinan pasien meninggal di kawasan dengan cemaran udara tinggi, dua kali lipat dibanding pasien di kawasan cemaran udara rendah. Bahkan kawasan dengan polusi udara moderat, risiko kematian meningkat 84 persen.

        Jika dinamika yang sama juga berlaku untuk Covid19, hal itu berarti beban tambahan untuk unit perawatan gawat darurat di rumah sakit di kota-kota yang biasanya diselimuti smog cemaran udara dengan kasus corona yang meningkat cepat. New York, Madrid dan London adalah tiga kota yang masuk kategori itu.

        Pembunuh diam-diam

        Wuhan dan kota-kota di utara Italia terkenal dengan cemaran udara tinggi dan menjadi kawasan yang dihantam wabah Covid-19 paling parah. Data awal yang dihimpun menunjukkan indikasi, partikel yang berdiameter lebih kecil dari 2,5 micron atau disebut PM2,5 diduga memainkan peranan sangat besar dalam sistem layanan kesehatan.

        Partikel yang lebih halus dari diameter rambut manusia ini, bisa menembus pelindung paru-paru dan memasuki aliran darah. Kondisi ini meningkatkan risiko penyakit paru-paru dan jantung.

        Studi yang dilakukan WHO dan pemerintah Cina pada bulan Februari saat wabah Covid-19 melanda banyak wilayah di Cina menunjukkan, tingkat fatalitas orang dengan penyakit jantungsembilan kali lebih tinggi dari orang sehat. Pada pasien pengidap diabetes, tekanan darah tinggi dan penyakit pernafasan, tingkat fatalitasnya enam kali lebih tinggi.

        Laporan pejabat kesehatan di Italia bulan Maret menyebutkan, 99% sampel pasien yang meninggal akibat Covid-19 memiliki riwayat penyakit, beberapa diantaranya mengidap tiga atau lebih penyakit kronis. Penyakit yang paling banyak dilaporkan adalah tekanan darah tinggi, penyakit jantung dan diabetes.

        Terlalu dini kaitkan polusi udara dan kematian Covid-19

        Namun WHO menyatakan, terlalu dini untuk mengkaitkan polusi udara dengan tingginya tingkat kematian akibat infeksi virus corona. Argumennya, pandemi ini baru saja melanda dunia. Tapi semua itu jangan sampai menghentikan negara-negara memerangi polusi udara.

        “Apakah ada korelasi antara Covid-19 dan pencemaran udara, kita tetap harus mereduksi polusi udara, tak peduli apapun efeknya“, ujar Maria Neira, direktur kesehatan publik dan lingkungam World Health Organization kepada DW.

        "Stop merokok dan turunkan tingkat pencemaran udara, itulah rekomendasi yang dapat kami berikan, walau tanpa lebih banyak bukti lainnya“, tambah Neira.

        Jos Lelieveld, direktur kimia atmosferik di Max Planck Institute Jerman juga mengamini saran WHO. “Mereduksi polusi udara untuk mendukung kesehatam itu bagus. Bahkan itu membantu menurunkan prakondisi yang dapat memacu virus corona atau asma“, ujarnya.

        Namun Lelieveld menyebutkan, dia tidak melihat kontribusi penting dari polusi udara dalam diskusi untuk meredam penyebaran virus.

        Lockdown bersihkan udara?

        Data menunjukkan, ketika kasus virus corona naik tajam di seluruh dunia, lockdown dan penutupan sementara pabrik di sejumlah negara untuk mengerem penularannya, berdampak pada menurunnya polusi udara.

        Citra satelit dari Cina dan Italia menunjukkan turun drastisnya kadar nitrogen oksida, gas beracun yang memicu smog di kota-kota besar dunia. Christian Retscher dari European Space Agency mengatakan, walaupun begitu citra udara tidak bisa sepenuhnya ditafsir sebagai hasil lockdown, bisa juga sebagai fenomena awal tahun.

        "Memang benar, kita melihat efek virus corona pada kadar NO2. Kita melihat efek tambahan, tapi kita belum tahu angka pastinya“, tambah Retscher.

        Lockdown membantu membersihkan udara, walau juga tidak diketahui seberapa lama negara-negara ini akan menekan tingkat polusi tetap rendah. “Jika suatu saat nanti krisis berakhir, kita akan melihat di Cina pasti ada upaya untuk mengkompensasi kerugian dari beberapa bulan sebelumnya“, kata Zoltan Massay-Kosubek, pakar kebijakan udara bersih dan transportasi berkelanjutan di European Public Health Alliance.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: