Seperti diketahui, tidak jarang kita menemukan perempuan petani yang bekerja di sektor kelapa sawit.
Pada tulisan ini yang bertepatan dengan Hari Kartini, saya ingin membahas peran perempuan dalam keberlanjutan industri kelapa sawit nasional. Dan karena penulis merupakan seorang perempuan maka tentu saja saya harus saling menguatkan, mendukung, dan memperjuangkan hak-hak perempuan petani tersebut.
Baca Juga: Hugs My Palm Oil
Berbagai inisiatif untuk meningkatkan keberlanjutan (sustainability) sektor sawit yang belakangan muncul, seperti RSPO dan ISPO, mulai ikut memberikan perhatian terhadap aspek gender. Berbagai penelitian seperti yang dilakukan oleh Institut Riset Sosial dan Ekonomi dan Program Manajemen Pembangunan Sosial, Universitas Indonesia, dengan berdasarkan analisis pada studi pustaka dan informasi lapangan menunjukkan upaya membangun kesetaraan gender dalam industri sawit berkelanjutan belum terjadi sepenuhnya karena keterbatasan dalam mengoperasionalkan perspektif gender dalam standar sustainability.
Isu gender yang dicakup masih sebatas upaya perlindungan perempuan terhadap risiko pekerjaan dalam sektor sawit, sebatas paradigma women in development. Padahal, pengembangan yang seharusnya dilakukan adalah mengaplikasikan paradigma gender and development untuk mencapai relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan serta mengatasi berbagai hambatan struktural yang memengaruhinya.
Koalisi Buruh Sawit (KBS) menganggap bahwa masih ada ketimpangan dan ketidakadilan pada perempuan pekerja di industri kelapa sawit. Selain itu, mereka menyoroti besarnya kekuasaan perkebunan, lemahnya pengawasan negara, serta kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada buruh sehingga semakin memosisikan buruh perkebunan sawit menjadi tidak berdaya. Sekali lagi, korban utama dari sistem kerja eksploitatif di perkebunan sawit ini adalah kaum perempuan.
Koalisi Buruh Sawit mencatat bahwa sebagian besar dari 18 juta buruh perkebunan sawit merupakan buruh prekariat atau dikenal dengan nama Buruh Harian Lepas (BHL) di mana sebagian besar BHL adalah perempuan. Sering kali perempuan yang bekerja di perkebunan sawit dianggap tidak ada, padahal proses produksi sangat dipengaruhi oleh keberadaan perempuan.
Perempuan mengerjakan 15 dari 16 jenis pekerjaan di perkebunan sawit, termasuk mengutip berondolan dan mengangkat buah ke TPH, namun sebagian besar buruh perempuan bekerja tanpa mendapatkan hak-hak sebagai buruh, kepastian kerja, dokumentasi ikatan kerja, upah minim, maupun perlindungan kesehatan memadai.
KBS mendapat temuan di lapangan bahwa kaum perempuan menjadi BHL dengan masa kerja lebih dari dua tahun, bahkan ada yang sampai belasan tahun. Buruh perempuan dipekerjakan untuk melakukan penyemprotan, pemupukan, pembersihan areal, mengutip berondolan, dan pekerjaan lainnya yang tidak dianggap sebagai pekerjaan inti di perkebunan sawit. Tercatat, praktik mempekerjakan perempuan tanpa hak-hak permanen terjadi di perkebunan sawit di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Convention of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, namun hingga saat ini buruh perempuan perkebunan masih saja mengalami diskriminasi. Hak-hak yang mesti diberikan sama sekali tidak diterima.
Berangkat dari kondisi objektif buruh perkebunan sawit saat ini, dapat dikatakan bahwa komitmen pemerintah dan korporasi dalam perlindungan buruh perkebunan sawit, khususnya buruh perempuan masih rendah.
Framework women in development (WID) adalah salah satu acuan yang paling banyak digunakan dalam proyek-proyek pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan. WID merupakan buah dari pemikiran feminis liberal yang muncul pada awal 1970-an. Secara historis, elemen utama argumen feminis liberal adalah klaim agar terwujudnya kesetaraan gender (Ritzer, 2014), yaitu adanya kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individu (Fakih, 1996).
Dalam implementasinya, berbagai program pembangunan berupaya mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi perempuan, termasuk dalam sektor pertanian, sektor yang diskriminatif terhadap perempuan, tetapi perempuan banyak terlibat di dalamnya. Dalam perjalanannya, pada pertengahan 1980-an, gender and development (GAD) muncul untuk menggantikan WID.
Penggunaan kata "gender" dalam GAD dinilai lebih baik daripada kata "perempuan" dalam WID karena gender berfokus pada relasi sosial yang dibangun antara laki-laki dan perempuan (Kabeer, 2000). Upaya mewujudkan kesetaraan gender yang tidak memperhatikan relasi sosial laki-laki dan perempuan tidak akan mampu menghasilkan transformasi gender sebagaimana yang diharapkan atau, dengan bahasa lain, paradigma WID haruslah ditinggalkan.
Sebagaimana yang diserukan Cornwall (1997), praktik dan prosedur pembangunan dalam upaya mencapai kesetaraan gender harus diubah, yaitu dengan tidak hanya berfokus pada perempuan, tetapi juga memperhatikan laki-laki.
Telah terjadi perubahan sikap pada laki-laki, yaitu laki-laki bersedia terlibat dalam program untuk mewujudkan kesetaraan gender, hal yang dulu dianggap tabu dan "tidak laki-laki" (Barker & Schulte, 2010). Pendekatan GAD, yang memahami kompleksitas gender sebagai konstruksi sosial memberikan perhatian terhadap relasi gender.
Distribusi sumber daya antara laki-laki dan perempuan disebut juga sebagai pendekatan gender transformatif. Pendekatan gender transformatif menekankan pentingnya partisipasi laki-laki dalam mencapai kesetaraan gender (Risman & Martin dalam Cole, Kantor, Sarapura, Rajaratnam, 2015).
Dari paparan tersebut, untuk mewujudkan perubahan transformatif maka harus menggunakan pendekatan gender transformatif. Namun, upaya membangun kesetaraan gender dalam berbagai program pembangunan masih sangat berfokus pada perempuan (Cornwall, 2000). Program-program pembangunan yang memberikan perhatian terhadap isu gender masih saja menggunakan paradigma WID, yaitu membangun kapasitas perempuan dengan memberikan pelatihan, seperti budi daya, pengolahan, pemasaran, menyediakan layanan kredit mikro yang bisa diakses perempuan, membangun kesadaran gender perempuan, dan upaya sejenis lainnya (Leach & Sitaram, 2002; Haugh & Talwar, 2014).
Studi Phillips (2015) menemukan bahwa meningkatkan akses perempuan terhadap pinjaman saja tidak cukup jika hambatan sosial budaya dan politik juga tidak diatasi. Hal yang sama berlaku untuk berbagai intervensi gender lain, yaitu semua upaya tersebut tidak cukup jika struktur yang menghambat tidak diintervensi.
RSPO memiliki delapan prinsip dan kriteria (P&K RSPO) dengan komponen gender berada pada Prinsip 6, yaitu bertanggung jawab terhadap para karyawan, individu, serta masyarakat yang terkena dampak perkebunan dan pabrik pengolahan. Sementara itu, ISPO memiliki tujuh P&K, dengan komponen gender terdapat pada Prinsip 4, yaitu bertanggung jawab terhadap pekerja.
Uraian lebih lanjut mengenai komponen gender dalam P&K RSPO dan ISPO bisa dilihat pada tabel berikut ini
Standar-standar yang dikembangkan menganggap aspek gender masih cukup terwakili dengan membahas aspek keadilan sosial secara umum. Untuk RSPO, kurangnya pembahasan aspek gender sudah mulai disentuh sejak 2008/2009 (RSPO, 2009). Baru pada 2014, roundtable RSPO membahas lebih spesifik dan mendalam mengenai aspek gender.
Dalam roundtable RSPO di Kuala Lumpur pada 2014, salah satu pembahasan penting adalah mengenai bagaimana audit gender dalam prinsip dan kriteria harus ditingkatkan melalui audit sosial (RSPO, 2014).
Perempuan mempunyai keterlibatan yang cukup banyak dalam produksi kelapa sawit. Oleh karena itu, kesetaraan gender merupakan bagian yang tidak bisa diabaikan dalam isu sawit berkelanjutan. Kesetaraan gender adalah bagian yang tak terpisahkan dari aspek keadilan sosial yang hendak dicapai dalam isu sawit berkelanjutan.
Sektor sawit mengakui adanya diskriminasi gender, yaitu berbagai bentuk ketidakadilan yang dihadapi perempuan. Melalui inisiatif sawit berkelanjutan, berbagai upaya telah dilakukan untuk memastikan adanya kesetaraan gender pada sektor sawit, yaitu dengan memasukkan klausa gender pada prinsip dan kriteria sawit berkelanjutan, yaitu Prinsip 6: "Bertanggung jawab terhadap pekerja, individu, dan komunitas dari kebun dan pabrik," serta Prinsip 5, "Bertanggung jawab terhadap pekerja."
Namun, upaya membangun kesetaraan gender dalam isu sawit berkelanjutan belum terjadi sepenuhnya karena keterbatasan dalam mengoperasionalkan perspektif gender ke dalam standar keberlanjutan (sustainability).
Oleh karenanya, kondisi tersebut harus menjadi perhatian pemerintah ke depan khususnya dalam melahirkan kebijakan yang berdimensi perspektif gender. Pengarusutamaan gender dalam kebijakan pemerintah khususnya di sektor pertanian dan perkebunan ditujukan agar pembangunan pertanian maupun perkebunan diarahkan kepada pembangunan yang berkelanjutan, di mana aspek sosial menjadi salah satu perhatian yang juga berkaitan dengan konsep perspektif gender.
Dengan demikian, hasil pembangunan tidak hanya memberikan keuntungan secara ekonomi, tetapi juga dari aspek sosial memberikan maanfaat bagi petani perempuan maupun laki-laki.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: