Pandemi Covid-19 yang menginfeksi dunia sejak Januari 2020 lalu telah melumpuhkan perekonomian dan berdampak pada produksi dan daya saing minyak nabati.
Tidak hanya minyak kedelai yang menjadi komoditas unggulan negara barat yang terdampak pandemi tersebut, tetapi juga dirasakan minyak kelapa sawit yang kedudukannya sudah mendominasi pasar minyak nabati dunia.
Analisis International Monetary Fund (IMF) menerangkan bahwa penurunan ekonomi akibat Covid-19 akan lebih dalam terjadi daripada masa depresi. Hal ini tentu saja akan berdampak pada daya beli masyarakat di berbagai negara yang mengalami penurunan yang dalam juga.
Baca Juga: Kebun Sawit Bukan Driver Deforestasi Tapi Upaya Reforestasi!
Dalam hal ini, negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah, seperti Afrika, Amerika Latin, dan Asia merupakan negara yang memilki risiko tinggi terhadap penurunan daya beli.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Derom Bangun mengatakan, "Akibat penurunan daya beli itu, maka daya saing minyak sawit akan menjadi lebih kuat terhadap minyak nabati yang lain, seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak rapa (rapeseed oil) yang sering juga disebut minyak kanola."
Derom menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke India bersama pejabat-pejabat pemerintah dan Kadin pada 1985 dengan tujaun untuk mendorong perdagangan dan investasi. Ternyata kala itu, India tidak ada atau belum mengimpor minyak sawit sama sekali dari Indonesia dan Malaysia. Namun, beberapa tahun kemudian, impor India terhadap minyak sawit mulai terlihat dan meningkat dengan cepat pada 1990-an.
Lebih lanjut Derom menceritakan, "Ketika saya bertanya kepada seorang anggota masyarakat awam di Mumbai, bagaimana dia membandingkan antara minyak sawit dan minyak kedelai, jawabannya sangat mengejutkan saya. Itu seperti membandingkan mobil Maruti dengan mobil Mercedes katanya."
Maruti dikenal sebagai mobil yang harganya murah dan irit pemakaian bensin dan banyak berkeliaran di jalan-jalan di Mumbai. Tentu pembelinya sadar bahwa mobil ini tidak sekukuh mobil-mobil impor yang lebih harganya lebih mahal.
"Mobil Mercedes hampir tidak ada saya lihat di jalan-jalan Kota Mumbai yang padat mobil itu," ujar Derom.
Menurut Derom, seperti itulah sebagian anggota masyarakat India melihat minyak sawit yang lebih disukai karena faktor ekonomisnya. Sekarang ketika ekonomi dunia menurun, sudah tentu pemerintah India akan mengambil sikap untuk mengimpor bahan-bahan yang paling sesuai dengan keinginan masyarakat.
Baca Juga: Harga CPO: Bukan Pelan Asalkan Selamat, Tapi Pelan Bikin Skakmat!
Salah satu tindakan tersebut, di antaranya perubahan peraturan mengenai impor minyak goreng sawit (palm olein). Pengumuman tersebut terdengar ke Indonesia pada 15 April 2020 lalu dan diperkirakan akan mampu meningkatkan impor minyak goreng sawit ke India.
Negara lain juga akan mengalami kondisi ekonomi yang menurun dan akan mengambil langkah-langkah kebijakan juga yang pada ujungnya akan meningkatkan daya saing minyak sawit. "Eksportir kita sangat mahir mengenai seluk beluk perdagangan ekspor ini, baik ke India, ke Tiongkok, ke Pakistan, ke Bangladesh, dan bahkan ke Rusia," ungkap Derom.
Derom menyarankan bahwa peluang pasar ini harus didampingi dengan promosi agresif dari pengusaha-pengusaha minyak sawit, terutama produsen minyak goreng bermerek.
"Namun demikian, promosi-promosi ke negara tujuan tetap perlu dilakukan walaupun caranya perlu disesuaikan dengan kondisi sekarang. Promosi yang efektif dapat dilakukan melalui media yang menjangkau para konsumen di rumah masing-masing," ungkapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti