Pemerintah hendaknya mendahulukan sumber-sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang untuk menutup defisit anggaran yang begitu besar akibat pandemi Covid-19.
Sebagaimana diketahui, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menambah anggaran biaya stimulus ekonomi. Total anggaran sebesar Rp677 triliun digelontorkan pemerintah untuk beragam instrumen kebijakan seperti insentif perpajakan, bantuan sosial, Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk BUMN, subsidi bunga khususnya untuk UMKM, hingga penempatan dana pemerintah di perbankan dalam rangka restrukturisasi kredit.
Baca Juga: CORE Nilai Penambahan Anggaran Stimulus Ekonomi Jauh dari Ideal
Dengan tambahan anggaran di atas, belanja negara tahun ini akan meningkat menjadi Rp3.479 triliun. Dengan penerimaan negara yang sampai dengan akhir tahun diperkirakan hanya akan mencapai Rp1.691 triliun, defisit anggaran akan mencapai Rp1.856 triliun. Jika ditambah pembiayaan investasi sebesar Rp178 triliun dan utang jatuh tempo pada tahun 2020 yang diperkirakan akan mencapai Rp426 triliun, total pembiayaan utang bruto akan mencapai Rp2.461 triliun.
Meski begitu, CORE Indonesia menilai kebijakan penerbitan surat utang oleh pemerintah sulit dilakukan menimbang kondisi di dalam negeri yang sedang kekeringan likuiditas. Oleh karena itu, kebijakan tambahan diperlukan untuk pemenuhan likuiditas di dalam negeri, yaitu dengan kebijakan pencetakan uang oleh bank sentral.
Saat ini diskursus mengenai kebijakan penciptaan uang selalu dikaitkan dengan kekhawatiran terhadap dampak kebijakan sama yang pernah dilakukan pada periode 1960-1966. CORE Indonesia berpandangan, paling tidak ada dua alasan utama mengapa kebijakan pencetakan uang perlu dan bisa dilakukan di Indonesia saat ini.
1. Tambahan likuiditas diperlukan untuk kebutuhan pembiayaan stimulus
Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, mengatakan, umumnya pemerintah menarik sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang. Namun, di tengah keringnya likuiditas akibat pandemi akan sangat sulit berharap permintaan terhadap surat utang pemerintah mampu menutup kebutuhan pembiayaan.
"Pasalnya, investor asing yang mempunyai persentase kepemilikan terbesar dalam surat utang pemerintah mengurangi porsi kepemilikannya, sementara bank masih menghadapi permasalahan likuiditas akibat tekanan NPL dan upaya restrukturisasi kredit," ujarnya di Jakarta, Kamis (4/6/2020).
Di sisi lain, investor individu cenderung melakukan precautionary savings yang lazim terjadi di tengah pandemi ataupun tekanan ekonomi. Dengan asumsi serapan SBN sampai dengan akhir Mei 2020 mencapai Rp120 triliun, tambahan pinjaman pemerintah yang akan mencapai Rp148 triliun, dan kebutuhan pembiayaan mencapai Rp2.426 triliun, pada periode Juni-Desember 2020 diperlukan tambahan likuiditas hingga Rp1.800 triliun di surat utang pemerintah.
"Hal ini menjadi tantangan karena dalam lima tahun terakhir serapan maksimal pasar pada instrumen surat utang pemerintah hanya mencapai Rp900 triliun, yang terjadi pada tahun 2019. Di sinilah kebutuhan likuiditas tambahan melalui kebijakan cetak uang diperlukan," ungkapnya.
Posisi jumlah uang beredar di Indonesia saat ini relatif rendah dibandingkan negara-negara lain. Rasio uang primer terhadap PDB (M0/PDB) hanya ada di kisaran 6%. Padahal, di Thailand dan bahkan Vietnam, M0/PDB bisa mencapai 14%.
Tambahan uang kartal dengan kebijakan cetak uang baru sebesar Rp1000 triliun diperkirakan akan meningkatkan M0/PDB dari 6% menjadi 15%, atau kurang lebih sama dengan Thailand dan Vietnam.
Sementara, rata-rata pertumbuhan jumlah uang beredar dalam artian sempit (M1) dalam lima tahun terakhir (2015-2019) sangat rendah, yaitu sekitar 11% (yoy). Jauh di bawah pertumbuhan M1 semasa krisis ekonomi tahun 1998 yang mencapai 29% yoy. Apalagi bila dibandingkan dengan pertumbuhan M1 pada tahun 1963-1965 yang secara rata-rata lebih dari 200% yoy sehingga kemudian menyebabkan terjadinya hiperinflasi.
"Jumlah uang beredar di Indonesia akan terlihat jauh lebih kecil lagi jika diukur menggunakan rasio uang beredar dalam artian luas (M2) terhadap PDB. Saat ini rasio M2 terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 38%. Angka ini sangat rendah bila dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam yang masing-masing mencapai 125%, 124%, dan 158%. Apalagi bila dibandingkan dengan Tiongkok yang M2/PDB-nya hampir mencapai 200%, atau Jepang yang di atas 200%," tambah Piter.
Dengan mempertimbangkan jumlah uang beredar yang saat ini masih sangat rendah, Indonesia sesungguhnya masih punya ruang untuk mencetak uang guna membiayai stimulus fiskal dalam rangka membantu ekonomi di tengah pandemi.
2. Kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi seperti yang terjadi pada periode 1960-1966
Secara historis, Indonesia pernah melakukan kebijakan cetak uang (money creation) pada masa orde lama yang mengakibatkan hiperinflasi, yakni stadium akhir dari penyakit inflasi. Namun, ada beberapa hal yang mesti dicatat mengapa kebijakan cetak uang pada medio 1960-an itu menyebabkan hiperinflasi.
Dari sisi produksi, ketika itu perekonomian Indonesia mengalami stagnasi, bahkan pertumbuhannya melambat dari periode sebelumnya. Hal ini diperparah oleh situasi politik yang tidak stabil yang disebabkan oleh beberapa peristiwa, seperti pembebasan Irian Barat dan konfrontasi politik keamanan dengan Malaysia.
"Alhasil, penyebab hiperinflasi yang terjadi pada saat itu adalah kombinasi kenaikan jumlah uang beredar yang tidak diimbangi oleh sisi suplai yang kuat akibat kelangkaan bahan baku, serangkaian ketegangan politik, dan kebijakan makro yang kurang tepat," jelas Piter.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Puri Mei Setyaningrum