Dalam diskusi publik, meningkatnya penggunaan minyak kelapa sawit sering dikritik sejumlah LSM antisawit karena dituduh berdampak negatif terhadap lingkungan. Lingkungan yang dimaksud terkait dengan deforestasi tropis dan masalah yang timbul terhadap keanekaragaman hayati, fungsi ekosistem, dan stabilitas iklim.
Berbagai bentuk black campaign yang digaungkan oleh negara-negara maupun LSM antisawit tersebut tersebar luas secara global. Namun, banyak yang tidak mengetahui bahwa komunitas lokal dan petani dengan skala usaha kecil yang berkecimpung dalam kegiatan operasional perkebunan kelapa sawit mendapatkan benefit yang signifikan dari kelapa sawit.
Baca Juga: Sentimen Positif Sawit Terus Menguat di Kalangan Milenial
Di Asia Tenggara, sebagian besar lahan kelapa sawit dikelola oleh petani kecil. Kelapa sawit tersebut telah berkontribusi besar terhadap pertumbuhan pendapatan pedesaan dan mengurangi kemiskinan petani dan pekerja. Tidak hanya itu, perkebunan kelapa sawit juga dinilai tinggi produktivitas dan efisien penggunaan lahan dibandingkan minyak nabati lain seperti kedelai dan minyak bunga matahari.
Melihat fakta di atas, melarang dan boikot kelapa sawit justru akan berdampak buruk bagi ekonomi dan lingkungan. Temuan ini diungkapkan peneliti Universitas Goettingen dan Institut Pertanian Bogor dalam jurnal akademik The Annual Review of Resource Economics dengan judul riset "Environmental, Economic, and Social Consequences of the Oil Palm Boom".
Latar belakang dari riset ini yakni melihat pesatnya perkembagan industri kelapa sawit global terutama di Indonesia dan Malaysia. Yang menarik adalah pada 2017 kontribusi minyak sawit mencapai 40 persen dari total pasokan minyak nabati di seluruh dunia. Akan tetapi, minyak sawit paling hemat dari aspek penggunaan lahan yang hanya sekitar 10 persen dari total lahan tanaman minyak nabati. Namun, perspektif internasional memberikan stigma negatif terhadap kelapa sawit baik dari aspek ekologis, ekosistem, dan deforestasi.
Berangkat dari persoalan ini, empat peneliti yaitu Prof.Dr. Matin Qaim (Department of Agricultural Economics and Rural Development, University of Goettingen), Dr. Kibrom T. Sibhatu (Center of Biodiversity and Sustainable Land Use (CBL), University of Goettingen), Prof. Hermanto Siregar (Guru Besar Institut Pertanian Bogor), dan Prof. Dr. Ingo Grass (Department of Crop Sciences, University of Goettingen) mengambil data biodiversitas dan lingkungan di Jambi mulai dari 2012.
Provinsi ini termasuk daerah sentra kelapa sawit yang booming dari 25 tahun lalu. Sampel menggunakan 24 plot dengan 8 plot hutan hujan yang dilindungi, 8 plot mengambil situasi lokasi terletak di perkebunan kecil kelapa sawit dan karet, dan 8 plot fungsi ekologis hutan agroforestry karet. Faktanya, deforestasi di Jambi sudah lama berlangsung sebelum perkebunan sawit muncul.
Pada pertengahan abad 20, hutan agroforestry karet menjadi andalan masyarakat setempat. Produksi kelapa sawit dimulai pada 1980-an yang dipelopori perusahaan swasta dan baru disusul oleh petani melalui sistem perkebunan inti rakyat pada dekade 1990-an. Hasil riset menunjukkan bahwa petani di Jambi mendapat manfaat yang signifikan dari budi daya kelapa sawit. Kelapa sawit menghasilkan pendapatan lebih tinggi daripada karet yang sudah dibudidayakan lebih dahulu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: