Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Jadi Pemasok Terbesar, Inggris Lanjut Jual Senjata ke Arab Saudi

        Jadi Pemasok Terbesar, Inggris Lanjut Jual Senjata ke Arab Saudi Kredit Foto: Royalounge.com
        Warta Ekonomi, London -

        Inggris pada Selasa (7/7/2020) mengumumkan bahwa mereka akan melanjutkan penjualan senjata ke Arab Saudi setahun setelah pengadilan banding menyatakan bahwa pemerintah Inggris melanggar hukum dengan menjual senjata ke kerajaan tanpa terlebih dahulu menilai apakah mereka terlibat dalam pelanggaran hukum humaniter internasional.

        Menteri Perdagangan Liz Truss mengatakan dalam sebuah pernyataan tertulis kepada parlemen bahwa tinjauan resmi pemerintah menemukan bahwa serangan udara di Yaman yang melanggar hukum humaniter internasional hanyalah insiden yang terisolasi.

        Baca Juga: Arab Saudi-China Makin Lengket, Kerja Sama Meningkat

        "Pemerintah sekarang akan memulai proses pembersihan timbunan pendaftaran lisensi untuk Arab Saudi dan mitra koalisinya yang telah menumpuk sejak 20 Juni tahun lalu," ungkap dia.

        Inggris adalah salah satu pemasok senjata terbesar ke Arab Saudi. Selama lima tahun terakhir, produsen senjata Inggris, BAE Systems, telah menjual senjata senilai GBP15 miliar ke Arab Saudi

        Tinjauan pemerintah, yang dipicu oleh putusan pengadilan banding pada Juni 2019, menilai contoh serangan udara Saudi menggunakan peralatan Inggris yang bisa melanggar hukum humaniter internasional dan membunuh warga sipil.

        "Analisis ini belum mengungkapkan pola, tren atau kelemahan sistemik seperti itu. Kesimpulannya adalah ini adalah insiden yang terisolasi," ujar Truss.

        Yaman telah dirundung konflik sejak 2014, ketika pemberontak Houthi menguasai sebagian besar wilayah negara, termasuk Sanaa. Krisis memanas pada 2015 ketika koalisi militer pimpinan Saudi meluncurkan kampanye udara besar-besaran untuk mengalahkan Houthi.

        Puluhan ribu warga Yaman, termasuk warga sipil, diyakini terbunuh dalam konflik, yang menyebabkan krisis kemanusiaan terburuk di dunia karena jutaan orang menderita kelaparan.

        'Keputusan memalukan'

        Andrew Smith dari Kampanye Menentang Perdagangan Senjata mengatakan bahwa langkah ini adalah keputusan yang memalukan dan bangkrut secara moral.

        "Pengeboman Yaman yang dipimpin Saudi telah menciptakan krisis kemanusiaan terburuk di dunia, dan pemerintah sendiri mengakui bahwa senjata buatan Inggris telah memainkan peran sentral dalam pemboman itu. Kami akan mempertimbangkan keputusan baru ini dengan pengacara kami dan akan menjajaki semua opsi yang tersedia untuk menentangnya," ujar Smith.

        Baca Juga: Alamak, Houthi Ancam Serang Istana-Istana Arab Saudi

        Menurut dia, bukti-bukti menunjukkan pola yang jelas dari pelanggaran keji dan mengerikan terhadap hukum humaniter Internasional oleh koalisi yang telah berulang kali menargetkan pertemuan sipil seperti pernikahan, pemakaman dan pasar.

        "Pemerintah mengklaim bahwa ini adalah insiden terisolasi, tetapi berapa ratus insiden terisolasi yang diperlukan bagi Pemerintah untuk berhenti memasok persenjataan?" tegas dia.

        Smith menambahkan bahwa keputusan itu memperlihatkan peringkat kemunafikan di jantung kebijakan luar negeri Inggris.

        "Baru kemarin pemerintah berbicara tentang perlunya memberi sanksi kepada pelanggar hak asasi manusia, tetapi sekarang telah menunjukkan bahwa mereka akan melakukan apa saja untuk terus mempersenjatai dan mendukung salah satu kediktatoran paling brutal di dunia," ujar dia.

        Pada Senin, Inggris mengumumkan rezim sanksi independen pertamanya. Sebelumnya, Inggris telah bergabung dengan sanksi PBB dan UE, tetapi pasca-Brexit, negara itu akan menerapkan sistemnya sendiri.

        Dari 49 individu yang dijatuhi sanksi, 20 orang di antaranya adalah warga negara Saudi yang terlibat dalam pembunuhan Jamal Khashoggi.

        Khashoggi, seorang kolumnis The Washington Post, dibunuh oleh kelompok operasi Arab Saudi tak lama setelah dia memasuki konsulat negara itu di Istanbul pada 2 Oktober 2018.

        Setelah awalnya mengatakan bahwa dia telah meninggalkan konsulat, berminggu-minggu kemudian, pemerintah Saudi mengakui bahwa dia terbunuh di sana dan melimpahkan kesalahan pada kelompok operasi Saudi. Hingga saat ini, jasadnya pun tak pernah ditemukan.

        Pelapor Khusus PBB Agnes Callamard, dalam laporannya, menyimpulkan bahwa pembunuhan Khashoggi adalah "eksekusi yang disengaja dan terencana", dan dia mendesak agar Mohammad bin Salman diselidiki. Meskipun begitu, putra mahkota Saudi bersikeras dirinya tidak terlibat dalam pembunuhan itu.

        Akhir tahun lalu, Arab Saudi menjatuhkan hukuman mati untuk lima orang karena keterlibatan mereka dalam pembunuhan Khashoggi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: