Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Buka Suara, IMTA: Penghapusan Ketentuan Multimoda Saran Keliru

        Buka Suara, IMTA: Penghapusan Ketentuan Multimoda Saran Keliru Kredit Foto: Ndonesia Multimoda Transport Association (IMTA)
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Perkumpulan Perusahaan Multimodal Transport Indonesia (PPMTI) atau yang dikenal sebagai Indonesia Multimoda Transport Association (IMTA), merespons masukan Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi V DPR terkait Penyusunan Rancangan Undang Undang atau RUU Revisi UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

        Menurut Ketua IMTA, Siti Ariyanti, masukan dari APTRINDO berkaitan dengan UU 22 Tahun 2009 tentang LLAJ khususnya Pasal 165 tentang pengaturan angkutan multimoda yang mengatakan perlu dihapus tidak tepat dan keliru.

        Dalam keterangannya, Kamis (9/7), Siti menerangkan, angkutan multimoda (Multimoda Transport) berdasarkan PP 8 tahun 2011 adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit dua moda transportasi yang berbeda. Atas dasar satu kontrak yang menggunakan dokumen angkutan multimoda dari satu tempat, barang diterima oleh badan usaha angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penerimaan barang tersebut.

        Baca Juga: Dirut KAI Raih Penghargaan Heroes of The Transportation Industry

        Baca Juga: Masa Transisi Normal Baru, Lindungi Anak dari Dalam & Luar Tubuh

        “Angkutan multimoda merupakan komponen penting dari sistem logistik, karena angkutan barang dalam aktivitas logistik pada umumnya menggunakan lebih dari satu moda transportasi,” jelas Siti Ariyanti.

        Ditambahkannya, penghapusan ketentuan multimoda karena ketakutan dan keterbatasan pemahaman merupakan setback alias langkah mundur industri logistik nasional dalam menghadapi persaingan global.

        "Dimana kekuatan modal, kompetensi, jejaring dan teknologi menjadi kuncinya,” imbuh Siti Ariyanti.

        Ditambahkan Wakil Ketua IMTA, David Rahadian, angkutan multimoda telah diatur dalam United Nations Convention On International Multimodal Transport of Goods di tahun 1980 dan dalam ASEAN Framework Agreement On Multimodal Transport (AFAMT) pada November 2005.

        "Peran angkutan multimoda semakin penting dengan adanya agenda integrasi sistem logistik ASEAN menuju kepada perwujudan pasar tunggal ASEAN. Integrasi sistem logistik ASEAN dan ASEAN Framework Agreement On Multimodal Transport menyiratkan adanya liberalisasi di bidang jasa angkutan multimoda di kawasan ASEAN," ujar David.

        Di Indonesia, ketentuan Angkutan Multimoda, lanjut David, diatur dalam Peraturan Pemerintah No.8 tahun 2011 dan dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 8 tahun 2012.

        Regulasi di atas merupakan penjabaran dari Pasal 165 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Pasal 50-55 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; Pasal 187-191 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; Pasal 147-148 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.

        Terkait dengan penerapan ketentuan angkutan Multimoda, yang memiliki keketatan tinggi, baik dari modal, tenaga profesional, teknologi dan perijinan, telah lahir beberapa perusahaan berukuran menengah dan besar di bidang angkutan multimoda sejak 2014. Dan dengan berkembangnya industri angkutan multimoda, maka pada tahun 2018 telah didirikan Perkumpulan Perusahaan Multimodal Transport Indonesia (PPMTI) yang dikenal juga sebagai Indonesia Multimodal Transport Association (IMTA).

        “Sesuai ketentuan Pasal 1 butir 4 dan Pasal 5 dari PP 8/2011, IMTA bertugas menggali dan mempertajam Dokumen Angkutan Multimoda sesuai dengan Standard Trading Condition (STC). Pemerintah juga terus melakukan pembinaan angkutan multimoda bersama IMTA sejak tahun 2018 untuk memperluas sosialisai regulasi multimoda dalam berbagai even nasional, dan terakhir juga dilaksanakan secara virtual. IMTA juga berperan aktif untuk memberikan masukan untuk pengembangan logistik nasional,” jelas David lagi.

        David mengatakan, selain fokus di dalam pendalaman regulasi multimoda IMTA bergerak di dalam pengembangan organisasi, sumber daya manusia, dan jejaring bisnis dalam ekosistem logistik untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional.

        “Karena itu, menurut saya sangat tidak tepat masukan atau usulan UU 22 Tahun 2009 tentang LLAJ khususnya Pasal 165 tentang pengaturan angkutan multimoda yang mengatakan perlu dihapus. Sebab, ini berkaitan dengan pelayanan Angkutan Multimoda, dengan konsep single document, satu dokumen multimoda dari point ke point (door to door) justru memberikan efisiensi, kemudahan, dan kepastian bagi pengguna jasa logistik. Keberadaan badan usaha angkutan multimoda sebagai integrator logistik nasional dan ASEAN, tidak mengancam keberadaan usaha angkutan lainnya, dan justru dapat mendorong peningkatan daya saing logistik nasional di kancah internasional, untuk keluar dari bayang-bayang badan usaha angkutan multimoda internasional,” tegas David.

        Terkait birokrasi yang dipermasalahkan, tentunya tidak berpengaruh terhadap usaha lainnya, seperti angkutan darat atau angkutan laut. Birokrasi tentunya disesuaikan dengan kompleksitas usaha logistik, yang tentunya membutuhkan kompetensi yang lebih kompleks pula. IMTA justru hadir untuk mendorong peningkatakan kompetensi dan profesionalisme logistik nasional. Di Era ASEAN Free Trade Area (AFTA), menuju perdagangan dan jasa bebas global sebagaimana diatur dalam GATT dan GATS yang sudah diratifikasi pemerintah, daya saing perusahaan dan profesional menjadi kunci keberhasilan.

        Untuk itu, IMTA mendorong pemerintah dan para wakil rakyat yang terhormat di DPR selaku regulator untuk tetap terus menggali, mengembangkan dengan melangkah secara konkrit untuk memajukan industri logistik nasional, untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan ASEAN, mengingat Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN. Jadi jika peraturan yang ada dianggap kurang, mari kita perbaiki bukan dimentahkan persetujuan dan kesepakatan yang ada dengan negara lain, khususnya ASEAN.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: