Ekonomi Singapura mengalami resesi setelah pada kuartal II 2020 terkontraksi minus 41,2% atau minus 12,6% secara tahunan akibat lockdown partial untuk memutus wabah Covid-19. Adapun pada kuartal I 2020, ekonomi Singapura mengalami minus 3,3 persen. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengakui bahwa pandemi Covid-19 memang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurutnya, puncak dari dampak pandemi Covid-19 terjadi pada triwulan II 2020.
Baca Juga: Waspadai Resesi Singapura, Sri Mulyani Nyalakan Lampu Kuning
Pasalnya, pada periode tersebut pemerintah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus rantai wabah Covid-19. Namun, PSBB yang dilakukan membuat aktivitas ekonomi menjadi terbatas.
"Dari hasil asesmen kami, berdasarkan indikator terkini, ekonomi terjadi kontraksi di April, Mei 2020, kontraksi dalam terjadi di triwulan II 2020. Perkiraan kami memang kontraksi berkisar minus 4 persen," ujar Perry di Jakarta, belum lama ini.
Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang minus 4 persen di triwulan II 2020, artinya apabila pada triwulan berikutnya pertumbuhan ekonomi kembali terkontraksi, Indonesia akan bernasib sama dengan Singapura, yakni resesi.
Akan tetapi, Perry optimis pada triwulan III 2020 ekonomi akan jauh membaik dibandingkan triwulan II 2020. Hal ini lantaran pelonggaran PSBB sejak Juni 2020 membuat aktivitas ekonomi kembali bergeliat walaupun tidak seperti sebelum adanya wabah Covid-19.
Lebih jauh Perry mengungkapkan, ada empat langkah yang dilakukan BI dan pemerintah agar Indonesia tidak bernasib sama dengan Singapura dan pemulihan ekonomi berlangsung cepat.
"Pertama, bagaimana sesuai instruksi presiden untuk membuka sektor ekonomi yang produktif yang aman. Untuk itu, kepatuhan protokol Covid-19 menjadi penting dalam membuka kembali aktivitas ekonomi yang produktif yang aman," jelas Perry.
Kedua, BI mendukung pemerintah atau otoritas fiskal untuk bisa mempercepat realisasi anggaran dari APBN. Hal ini sangat diperlukan di dalam mendorong percepatan ekonomi.
"Di sinilah sinergi ekspansi moneter BI dan akselerasi stimulus fiskal oleh pemerintah diperkuat antara lain melalui pembelian SBN dari pasar perdana maupun juga pendanaan APBN oleh BI melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 7 Juli 2020. Kita sudah sampaikan untuk pendanaan publik good Rp397 triliun itu pendanaan dari BI dan bebannya oleh BI juga. Pemerinth dan BI berbagi beban (burden sharing) untuk mendorong UMKM dan korporasi. Dananya memang dari SBN, tapi BI menanggung sebagiannya. Dengan sinergi ini, pemerintah bisa mmpercepat realisasi anggaran APBN," jelas Perry.
Yang ketiga ialah bagaimana percepatan kemajuan relaksasi/restrukturisasi kredit harus dilakukan. Pasalnya, restrukturisasi kredit akan mendorong percepatan pemulihan ekonomi.
"Asesmen kami yang dilakukan perbankan, FGD, dan survei kami bahwa perbankan telah lakukan restrukturisasi kredit secara cepat. Berdasarkan laporan yang kami terima dari bank, kami melihat sampai Juni 2020 kredit yang direstrukturisasi sebesar Rp871,6 triliun. Dari total itu, UMKM Rp309,3 triliun, korporasi Rp164,7 triliun, Rp130,9 di komersial, dan konsumsi Rp119,2 triliun," tukasnya.
Langkah terakhir ialah dengan menggaungkan digitalisasi ekonomi baik elektronifikasi transportasi, bantuan sosial, dan sebagainya sehingga mendorong digitalisasi sistem pembayaran.
"Di tengah pandemi ini, masyarakat makin tinggi minatnya terhadap transaksi digital ekonomi, di bank juga gencar lakukan digitalisasi. Saya kira empat langkah itu insyaallah akan memperbaiki ekonomi," tutur Perry.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: